MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Riki Sutiono
Oleh: Riki Sutiono
Salah satu benih perselisihan di
kalangan umat Islam, dan tidak jarang menjadi sumber ketegangan yang
berkepanjangan adalah suka menyalahkan amalan ibadah satu kelompok atau
komunitas umat Islam oleh kelompok lain, karena perbedaan pemahaman yang
sempit.
Dan salah satu yang menjadi ikhtilaf di kalangan umat Islam
adalah perbedaan memahami satu hadis yang cukup masyhur, sahih, dan
diriwayatkan oleh imam-imam hadis terpercaya. Redaksi hadis dimaksud adalah:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّار
"… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, alias bid'ah, dan semua bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" (HR. Muslim, Kitâbul Jum’at No. 2042).
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis:
قَالَ النَّبِي: "مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"
"Siapa saja yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak"
Oleh sebagian kalangan, rangkaian hadis di atas dijadikan dalil
untuk menyebut setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah.
Khitab-nya bersifat ‘am, mutlak tanpa pengecualian. Artinya, setiap perkara
baru dalam mu'amalah keagamaan itu bid’ah, tanpa kecuali. Dan setiap yang
bid’ah itu sesat, dan balasannya pasti neraka.
Poin dasarnya adalah redaksi kalimat hadis: "kullu bid'atin”
artinya setiap sesuatu yang bid'ah, semuanya, tanpa kecuali. Hal-hal yang
bersifat agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah.
Muludan, tahlilan, bacaan barzanji, majelis salawatan, haul, dll adalah contoh
amalan yang seringkali dicap sebagai perkara munkar, karena tidak ada landasan
syar’i secara langsung. Benarkah demikian cara memahaminya? Mari kita tinjau
dari beberapa aspek berikut...
Secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahkan? Apakah semua perkara, semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah?
Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr, jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan larangan.
Secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahkan? Apakah semua perkara, semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah?
Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr, jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan larangan.
Mengimani, mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada
prinsipnya, bersifat ta’abbudi. Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat
raka’at, shalat subuh dua raka’at. Ikuti saja! Tidak usah menambah dua syahadat
dengan embel-embel lain. Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus di kota Mekkah.
Tidak perlu kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
Improvisasi atau merubah perkara ushul/pokok agama itu terlarang, karena sifatnya ibadah mahdhah. Contohnya Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang. Mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya Islam seseorang.
Improvisasi atau merubah perkara ushul/pokok agama itu terlarang, karena sifatnya ibadah mahdhah. Contohnya Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang. Mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya Islam seseorang.
Namun, dalam hal furû’ul aqîdah (cabang-cabang aqidah) dan
furû’us syarîah (cabang-cabang syariah), terbuka kemungkinan ijtihad atau
perbedaan pendapat tanpa merombak status keimanan dan keislamanan seseorang.
Adapun contoh furû’us syarîah /cabang syariah yang menjadi
perbedaan dikalangan ulama adalah seperti bacaan Fâtihah dengan bismillah jahr
(keras) atau sirr (lirih), subuh dengan qunut atau tidak, posisi tangan sedekap
atau tidak, mata kaki harus mepet dalam shaf atau tidak, bilangan salat
tarawih, dsb. Begitu juga manasik haji. Itu semua adalah perkara furu’.
Dalam perkara furû’us syarîah, ruang ijtihadnya jauh lebih
terbuka, karena itu ambang toleransinya harus lebih tinggi. Imam al-Haramain
al-Juwaini, guru Imam Ghazali, menyatakan sebagian besar hukum agama (syariah)
lahir dari ijtihad. (inna mu’dzamas syarîah shâdara minal ijtihâd). Mengapa?
Karena usuhûlus syarîah atau pokok syari’at itu sedikit, selebihnya adalah
perkara-perkara furu’ atau cabang yang bersifat ijtihâdiyyah.
Dalam perkara furu’ inilah lahir madzhab-madzhab fikih, ribuan,
tetapi kemudian terseleksi oleh zaman ke dalam empat madzhab besar, yaitu
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
Jadi jelas sudah, dalam ibadah mahdloh (wajib) tidak boleh ada
perbedaan dari apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah, seperti jumlah rakaat
shalat dan lain sebagainya. Tapi dalam ibadah muthlaqah atau ‘Adat yaitu
seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan illat yaitu faktor
atau alasan yang menentukan hokum, justru terbuka ruang ijtihad.
Kesalahan dasar kelompok muslim tekstualis adalah ketidakmampuan
membedakan usuhûl dan furû; tidak faham mana ibadah mahdhoh, dan mana ibadah
muthlaqah. Semua dianggap ibadah mahdhoh, karena itu harus ada dalil dan
petunjuk yang persis dari Rasulullah. Mereka menolak muludan, tahlilan,
yasinan, haul, solawatan dst, persis karena tidak dicontohkan Rasulullah.
Imam Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah ta’abbud dan harus ada nas atau dalilnya. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah muthlaqah) adalah mencari illat dan qiyas. Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan dengan nash itu boleh-boleh saja, tergantung illat-nya atau alasannya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, solawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat.
Imam Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah ta’abbud dan harus ada nas atau dalilnya. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah muthlaqah) adalah mencari illat dan qiyas. Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan dengan nash itu boleh-boleh saja, tergantung illat-nya atau alasannya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, solawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat.
Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya
bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan
maslahat (baik secara personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah
tinggi. Memakai jubah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa
bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya mubah. Tetapi, jika niatnya
pamer kesalehan dan dampaknya ujub atau sombong, hukumnya haram karena nilai
ibadahnya hilang sama sekali.
Dalam ibadah muthlaqah (‘Adat), jangan bertanya mana dalil yang
memerintahkannya. Tanyakan: mana dalil yang melarangnya. Dalam ibadah
muthlaqah, kaidah fikih yang berlaku adalah: "al-ashlu fil asyyâ’
al-ibâhah hattâ yadulla –d dalîl alâ khilâfih" (hukum asal sesuatu adalah
boleh sampai ada dalil yang melarangnya).
Sementara dalam ibadah mahdloh (Wajib), kaidah yang berlaku
sebaliknya, “al-ashlu fil asyyâ’ at-tahrîm hatta yadulla –d dalîl alal ibâhah”
(hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya).
Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan muludan,
tidak usah sibuk buka kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana
dalil yang melarangnya! Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan
tahlilan, tidak usah sibuk buka kitab mencari referensi. Tanyakan balik mana
dalil yang melarangnya! Ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari
padanan dalil, karena dalil sharîh, baik yang memerintahkan maupun melarangnya,
sama-sama tidak ada.
Itu tadi dua aspek sudah kita kemukakan. Dan aspek ketiga untuk
lebih memahami hadis tentang bid'ah adalah historis Islam. Jika semua yang
tidak dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi akhir zaman ini,
tidak akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber Islam paling
pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama melalui ijma’
dan qiyas.
Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu. Sesudah perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpun mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan al-Qur’an.
Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu. Sesudah perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpun mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan al-Qur’an.
Seandainya kita ikuti kelompok literalis, menganggap semua hal
yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak bisa baca
al-Qur’an! Di zaman Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan besar-besaran,
dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz. Mushaf telah dihimpun di zaman Abu
Bakar, dicetak massif dan dibagikan di zaman Utsman.
Orang selain Arab, seperti kita, tetap tidak bisa baca al-Qur’an
tanpa bantuan bid’ah para ulama. Jangan bayangkan mushaf zaman dulu seperti
sekarang. Dulu huruf Arab gundul, betul-betul gundul, tanpa titik dan harakat.
Kita tidak bisa membedakan huruf Ta’, Ba’ dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok
tanpa titik. Huruf Shad dan Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama
kali meletakkan titik ke dalam huruf Arab adalah Abu-l Aswad ad-Du’ali, pada 62
H. Beliau adalah generasi tabi’in. Seabad kemudian, Imam Kholil ibn Ahmad
al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi dengan harakat sehingga kita
mengenal harakat fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin, dst.
Tanpa "bantuan" bid’ah dua ulama ini, orang 'ajam
(bukan Arab) seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an. Kita juga
berhutang kepada Abu Ubaid Qosim ibn Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu
tajwîd, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi,
tanpa bid’ah Sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan
membacanya dengan baik dan benar.
Sumber kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu
“Janganlah kalian tulis (apa-apa) dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan melarangnya. (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30):
Sumber kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu
“Janganlah kalian tulis (apa-apa) dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan melarangnya. (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30):
Jika kita ikuti cara baca kelompok muslim literalis, kita tidak
bisa mengenal sumber Islam yang kedua. Kitab-kitab hadis yang terhimpun seperti
al-Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, dan
kitab-kitab sunan (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah) adalah
produk bid’ah karena tidak diajarkan Rasulullah, bahkan dilarangnya.
Karena itu, sungguh membingungkan jika ada jargon kelompok tekstualis yang menggemakan “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Karena itu, sungguh membingungkan jika ada jargon kelompok tekstualis yang menggemakan “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Fakta-fakta di atas, tentunya mematahkan argumen pokok kelompok
literalis yang memukul rata semua bid’ah. Makanya, para ulama telah mengajari
kita untuk membuat pengelompokan bid'ah. Syaikh ‘Izzuddin ibn Abd Salam,
sebagaimana dikutip Ibn Hajar al-Asqalani, membagi bid’ah ke dalam lima
kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Bidah wajib seperti
menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul
fiqh, dst. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan tetapi tidak ada di zaman Rasulullah
seperti teraweh berjama’ah, membangun sekolah dan pondok, serta forum-forum
kajian. Bidah mubah seperti salaman selepas shalat dan makan-minum yang lezat,
mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah perkara
baru yang jelas menentang al-Qur’an dan Sunnah (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul
Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 13, hal. 214).
Akhirnya, semoga Allah semakin membukakan pintu hati kita,
membuka cakrawala pemikiran dan pengetahuan kita dalam beragama, serta
menghilangkan syak atau keraguan dalam menjalankan ibadah dan muamalah hasanah.
Wallahu A’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar