MUTIARA QOLBU
Oleh: Riki Sutiono (Dosen STAIN Bengkalis)
v MUTIARA
QOLBU 1: Agama Itu Nasihat
Mengawali
tulisan ini ada baiknya kita simak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim berikut ini: “Dari Abu Ruqayyah
Tamim ad-Dari, sesungguhnya Nabi bersabda, “Agama adalah nasihat”, Kami
bertanya, Untuk siapa? Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemimpin kaum Muslimin, dan kaum Muslimin secara umum. “(HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis
ini masuk dalam kategori jawaami’ul kalim
(perkatan yang singkat tapi padat maknanya) yang merupakan karakteristik
Rasulullah dalam berbicara. Bagaimana tidak? Ia mengandung arti yang banyak dan
faidah yang agung, sehingga mencakup seluruh sunah dan hukum syariat, yang
pokok ataupun yang cabang. Maka, tidaklah aneh jika para ulama menyebutkan
bahwa hadis ini merupakan poros ajaran Islam.
Nasihat
adalah sebuah kata yang mengandung arti sangat komprehensif. Arti nasihat di
sini adalah segala bentuk kebaikan yang diberikan demi kebaikan orang yang
diberi nasihat. Kalimat “agama itu
nasihat” mempunyai arti bahwa nasihat adalah sandaran dan pilar bagi agama.
Sebagaimana sabda nabi, yang artinya: haji
adalah arafah.” Maksudnya, wukuf di Arafah merupakan pilar dan bagian
terbesar dari ibadah haji.
Nasihat diartikan sebagai sebuah
kata universal yang berarti memberikan keuntungan kepada orang yang diberi
nasihat. Sebagian ulama ada yang mengumpamakan bahwa orang yang memberi nasihat
kebaikan kepada orang yang dinasihati, bagaikan orang yang menutup cacat yang
terdapat pada baju orang itu. Maka, menasihati orang lain sama halnya dengan
menutup cela atau kekurangan yang terdapat pada dirinya.
Bahkan, ada ulama yang mengatakan,
“Barangsiapa yang menasihati saudaranya secara empat mata, maka itulah nasihat
yang sebenarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang menasihati seseorang di depan
khalayak ramai, maka itu adalah penghinaan.”Fudhail bin ‘Iyadh menuturkan, “Di
antara ciri orang mukmin adalah menutupi aib saudaranya dan menasihatinya.
Sedangkan di antara ciri orang durhaka adalah membuka aib seseorang dan
menghinanya.”
Alangkah besarnya peran nasihat bagi
agama ini. Doa kita semua, Semoga kita termasuk ke dalam umat yang terdepan,
mulia, dan beruntung dengan saling menasihati kepada saudara-saudara kita
kearah kebaikan tentunya sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang kita
miliki. Wallahu ‘Alam ***
v MUTIARA
QOLBU 2: Menjadi Manusia Lebah
Di dalam al-Qur’an ada tiga binatang kecil
diabadikan oleh Allah menjadi nama surah, yaitu al-Naml (
semut), al-‘Ankabut (laba-laba), dan al-Nahl (lebah).
Ketiga binatang ini masing-masing memiliki karakter dan sifat, sebagaimana
digambarkan oleh al-Qur’an. Dan hal itu patut dijadikan pelajaran oleh manusia.
Semut memiliki sifat suka menghimpun makanan
sedikit demi sedikit tanpa henti-hentinya. Konon, binatang ini dapat menghimpun
makanan untuk bertahun-tahun sedangkan usianya tidak lebih dari satu tahun. Kesombongannya
sedemikian besar sehingga ia berusaha memikul sesuatu yang lebih besar dari
badannya, meskipun sesuatu itu tidak berguna baginya.
Lain halnya dengan laba-laba, sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an bahwa sarang laba-laba adalah tempat yang paling
rapuh. Hal ini memberikan
gambaran kepada kita bahwa di dalam masyarakat atau rumah tangga yang
keadaannya seperti laba-laba adalah sangat rapuh kondisinya, anggotanya saling
tindih-menindih, sikut menyikut seperti anak laba-laba yang baru lahir. Kehidupan ayah
dan ibu serta anak-anak tidak harmonis, antara pimpinan dan bawahan saling
curiga.
Berbeda dengan lebah. Lebah memiliki insting
yang sangat tinggi, Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau
empat, hal ini bertujuan agar tidak terjadi pemborosan dalam lokasi. Lebah
mengolah makanannya sendiri, dan hasil olahannya bisa menjadi lilin dan madu
yang sangat bermanfaat bagi manusia untuk dijadikan sebagai penerang dan obat.
Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja dan segala yang tidak berguna
disingkirkan dari sarangnya. Ia tidak mengganggu yang lainnya
kecuali ada yang mengganggunya, bahkan kalaupun menyakiti (menyengat)
sengatannya dapat menjadi obat. Oleh karenanya, wajarlah kalau Nabi Muhammad
SAW mengibaratkan orang mukmin itu seperti lebah, sebagaimana dalam sabdanya: “Perumpamaan seorang mukmin adalah
seperti lebah. Ia tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali
yang baik, dan bila berada pada suatu tempat tidak merusak”.
Dalam kehidupan kita di
dunia ini, jelas ada manusia yang berbudaya semut, yaitu suka menghimpun dan menumpuk
materi atau harta tanpa ada pemanfaatannya. Begitu
juga entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada disekitar kita, yaitu mereka
yang tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang
mereka pikirkan adalah siapa yang mereka jadikan mangsa, siapa lagi yang akan
ditipu, dan bagaimana cara mengambil hak orang lain.
Demikian pula di dalam masyarakat kita terdapat
beberapa manusia-manusia lebah. Siapa manusia lebah itu? Manusia lebah adalah
mereka yang tidak boros, tidak suka makan atau mengambil haknya orang lain, apa
yang keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang menyakiti perasaan tetapi sesuatu
yang menyejukkan dan menyenangkan. Dan bila berada pada suatu tempat atau
daerah tidak menjadi pengacau dan penyebab kericuhan. Tetapi justru
kehadirannya sangat diharapkan dan dirindukan. Oleh karenanya, marilah kita
merenungkan dan mencontoh sifat-sifat yang dimiliki oleh lebah, sehingga kita
dapat merasakan manisnya kehidupan di dunia ini. Wallahu A’lam***
v
MUTIARA
QOLBU 3: Sudahkah Kita Menjadi Manusia
Terbaik?
Mengawali tulisan ini, izinkan penulis
menuliskan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Jabir:
عن جابر
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا
يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
Diriwayatkan
dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,Orang beriman
itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap
ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”
(HR. Thabrani dan Daruquthni)
Sebagai makhluk sosial, manusia pastinya hidup
saling berdampingan dengan orang lain. Baik itu dengan keluarga maupun dengan
masyarakat. Di dalam masyarakat tentunya kita selalu bersinggungan dengan orang
lain. Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang
sangat dianjurkan oleh agama. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ
الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik
Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”
Hadist di atas memberikan arti bahwa
Rasullullah sangat menganjurkan umat islam untuk selalu berbuat baik terhadap
orang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya.
Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfaatannya pada yang lain.
Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat
yang lainnya.
Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang
yang berbuat. Seperti kita Memberikan manfaat kepada orang lain, maka
manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Quran surah Al Isra’ ayat 7:
إِنْ
أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
“Jika
kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri”
(QS. Al-Isra:7)
Manfaat yang bisa kita berikan kepada orang
lain itu bisa berupa; Pertama, Ilmu.
Baik ilmu agama maupun ilmu umum. Manusia bisa memberikan kemanfaatan
kepada orang lain dengan ilmu yang dimilikinya. Bahkan, seseorang yang memiliki
ilmu agama kemudian diajarkannya kepada orang lain dan membawa kemanfaatan bagi
orang tersebut dengan datangnya hidayah kepada-Nya, maka ini adalah merupakan
keberuntungan yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Begitu pula ilmu
umum, apabila diajarkan kepada orang lain dan dengan ilmu itu orang lain
mendapatkan life skill (keterampilan hidup), lalu dengan life skill
itu ia mendapatkan nafkah untuk sarana ibadah dan menafkahi keluarganya, ia
bisa menyekolahkan anaknya, dan dengan sekolah tersebut anaknya bisa tumbuh menjadi
orang sukses dan sholeh, maka ilmu itu akan menjadi pahala jariyah baginya.
Kedua, dengan harta atau kekayaan yang ia punya.
Bentuknya bisa bermacam-macam. Secara umum mengeluarkan harta di jalan Allah
itu disebut infaq. Infaq yang wajib adalah zakat. Dan yang sunnah biasa disebut
shodaqah. Memberikan kemanfaatan harta juga bisa dengan pemberian hadiah kepada
orang lain. Tentu, yang nilai kemanfaatannya lebih besar adalah yang pemberian
kepada orang yang paling membutuhkan. Ketiga, Tenaga. Manusia bisa
memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan tenaga yang ia miliki. Misalnya
jika ada perbaikan jalan kampung, kita bisa memberikan kemanfaatan dengan ikut
bergotong royong. Ketika ada pembangunan masjid kita bisa membantu dengan
tenaga kita.
Keempat,
Sikap yang baik kepada sesama juga termasuk kemanfaatan. Baik kemanfaatan
itu terasa langsung ataupun tidak langsung. Maka Rasulullah SAW memasukkan “Senyum”
kepada orang lain sebagai shadaqah karena mengandung unsur kemanfaatan. Dengan
senyum dan sikap baik, kita telah mendukung terciptanya lingkungan yang baik
dan kondusif.
Semakin banyak seseorang memberikan kelima hal
di atas kepada orang lain, maka semakin tinggi tingkat kemanfaatannya bagi
orang lain. Semakin tinggi kemanfaatan seseorang kepada orang lain, maka
semakin tinggi posisinya untuk menuju “Manusia Terbaik”. Wallahu A’lam.***
v MUTIARA QOLBU 4: Bisakah
Hati Ini Selembut Rasulullah SAW?
(Sebuah kisah inspiratif)
Ada
banyak kisah teladan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada kita
selaku umatnya untuk kita tiru dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
kesempatan ini penulis tertarik untuk menyampaikan salah satu kisah teladan
dari Baginda Rasulullah SAW tentang kelembutan hati Rasulullah SAW terhadap
seorang pengemis buta. Berikut kisahnya:
Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang
setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma
mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar
tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi
dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka
kalian akan terpengaruh olehnya.”
Teriakannya yang keras tak terlewatkan oleh
seorang pun yang berjalan di dekatnya. Setiap kali ada yang terdengar langkah
kaki orang melewatinya, pengemis buta itu selalu mengumpat Rasulullah Muhammad
SAW, dan mengatakan Muhammad adalah tukang sihir, orang gila dan sebagainya.
Pengemis Yahudi buta itu hampir setiap hari di
temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan
kasih sayang menyuapi pengemis yang hampir tidak pernah berhenti untuk menghina
dan merendahkan Muhammad SAW. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian
dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi
makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.
Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta
tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang
lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk
menyuapinya.
Orang lain yang menawarkan diri untuk menyuapi
pengemis buta yang tidak berhenti merendahkan Muhammad SAW tersebut adalah
sahabat terbaik Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq. Hati dan kepala Abu Bakar
mendidih mendengar sumpah serapah pengemis Yahudi tersebut.
Namun Abu Bakar menahan diri dan berusaha
dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan kepada pengemis buta
tersebut. Namun bukan rasa terima kasih yang di dapat oleh Abu Bakar, jusru
penyangkalan dan hardikan keras dari pengemis tersebut.
“Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,”
hardik si pengemis buta.
“Aku orang yang biasa,” kata Abu
Bakar.
“Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini
untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini
memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih
dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah
penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar.
Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu
Bakar tak kuasa membendung rasa harunya. Air matanya tumpah tak tertahankan,
dadanya turun naik, Beliau menangis sampai terisak-isak.
Salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad SAW
itupun berkata, “Memang, benar, Aku bukan
orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu.
Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.”
“Ketahuilah
bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut.
Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah
wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena
Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.”
Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam
sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini
memberinya makan dan juga menyuapinya.
“Ketahuilah,
bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang
yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar
ini,” jawab Abu Bakar kepada pengemis buta itu.
Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun.
Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar.
Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang
mulai berkeriput.
Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang
selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh
kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di
dunia ini.
“Selama
ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad ada di sampingku
sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar
melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.”
Kata pengemis buta dalam tangisnya.
Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta
bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La
ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta
memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW
dibalas dengan kasih sayang oleh Nabi Akhir Zaman tersebut.
Demikianlah kisah keteladanan Rasulullah
Muhammad SAW yang sebaiknya dicontoh oleh umat Beliau. Semoga kita termasuk
orang yang mendapatkan syafa’at dari Nabi Muhammad SAW di Hari Penghakiman
kelak.. Amiin.. Wallahu A’lam ***
v MUTIARA QOLBU 5: Bercanda Dalam Islam
Seorang lelaki pernah datang kepada Imam Abu
Hanifah rahimahullah, kemudian bertanya, "Bila saya sudah melepas baju
dan hendak menyebur ke sungai untuk mandi, apakah saya harus menghadap
kiblat?" Mendengar pertanyaan itu, Imam Abu Hanifah langsung menjawab,
"Yang lebih afdhal hendaknya wajahmu menghadap ke arah bajumu supaya
tidak di curi orang." Canda sang Imam
langsung mengundang senyum orang-orang yang ada di sekitarnya.
Canda merupakan bumbu dalam kehidupan,
secukupnya saja di taburkan sebagai penghias kehidupan. Islam sebagai agama
yang paling sempurna tidak lepas dalam memberikan adab dalam bercanda. Diantara
adab bercanda yang harus diperhatikan adalah:
Pertama, Tidak
berbohong dalam bercanda. Rasulullah
saw mengecam mereka yang membuat tertawa orang lain dengan membohonginya. "Celakalah
bagi orang yang berbicara (bercerita) lalu berbohong untuk membuat orang-orang
tertawa dengan cerita bohongnya itu. Celaka baginya! Celaka baginya! Celaka
baginya!" (shahihul jaami').
Kedua, Tidak berlebih-lebihan dalam bercanda. Rasulullah
saw pernah bersabda kepada Abu Hurairah ra "janganlah engkau banyak
tertawa, karna sesungguhnya banyak tertawa itu mematikan hati."
(shahihul jaami').
Ketiga, Tidak mempermainkan sesama muslim. Bercanda
bila sudah kelewat batas menyebabkan seseorang mempunyai sifat iseng. Seakan
akan tidak ada lagi perbuatan yang lebih baik daripada yang ia lakukan.
Rasulullah saw berpesan, "Janganlah seseorang melakukan perbuatan yang
dapat mendatangkan mudharat bagi dirinya dan orang lain". (Hadist
syarif).
Keempat, Tidak mengolok-olok dan menghina orang lain
serta tidak melakukan ghibah. Tergelincirnya lidah bisa disebabkan oleh canda
yang tidak proporsional, sehingga meluas tidak terkendali. Dan bila setan sudah
ikut andil di dalamnya maka mulailah saling olok dan hina diantara mereka untuk
memancing tawa. Sebagaimana yang dikhawatirkan khalifah Umar bin Abdul
Aziz, "Takutlah kalian pada canda, karena canda yang dungu dapat
mewariskan rasa dengki."
Kelima, Tidak memperolok Al Quran dan sunnah
Rasululllah saw. Dalam hal ini Allah swt berfirman dalam surat At Taubah
: 65 yang artinya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa
yang mereka lakukan), tentulah mereka akan menjawab : Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok." Satu hal yang
harus diperhatikan seorang muslim adalah Rasulullah saw memerintahkan agar
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw.
"Sebagian dari tanda bagusnya kualitas keislaman seseorang adalah jika
mampu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya." (HR Muslim).
Demikianlah kelima hal yang harus kita
perhatikan ketika bercanda. Begitu sempurnanya Agama ini sampai pada bab
bercanda juga ada aturannya. Tujuan dari aturan tersebut tiada lain adalah
untuk kemaslahatan umat. Wallahu A’lam ***
v MUTIARA
QOLBU 6: Berhati-Hati Dengan “Syubhat”
Syubhat
dapat diartikan sebagai sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan
dalil-dalil yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunah, maknanya pun masih
diperdebatkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara syubhat bukanlah
sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara jelas
memposisikan perkara syubhat diantara yang halal dan yang haram. Hanya saja,
sebagai langkah kehati-hatian, seharusnya kita menghindari barang syubhat. Hal
ini dikarenakan syubhat dapat menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, kerena
sesuatu yang belum jelas halal-haramnya.
Rasululullah
adalah suri teladan dalam hal menjauhi perkara syubhat. Beliau adalah pemimpin
orang-orang wara’. Hal ini dapat
dilihat dari sikap yang diambil Rasulullah berkenaan dengan sebutir kurma yang
jatuh ketika beliau mendapatinya di rumah beliau: “Kalau saja aku tidak khawatir bahwa ia (sebutir kurma ini) berasal
dari barang sedekah, tentu sudah aku makan.”
(HR.Bukhari dan Muslim).
Abu
Bakar juga sosok yang patut kita teladani dalam sikap wara’. Suatu ketika,beliau pernah memakan makanan syubhat karena
tidak tahu. Maka ketika mengetahuinya, ia langsung memasukkan tangannya ke
dalam mulutnya hingga memuntahkan makanan itu. Lalu ia berkata, “seandainya untuk mengeluarkan makanan
tersebut aku harus mengorbankan nyawaku, pasti akan aku tempuh.” Hal ini
dikarenakan Abu Bakar pernah mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya daging yang tumbuh dari harta
haram, maka neraka lebih pantas untuknya.”
Subhanallah,
betapa besar semangat dan usaha Abu Bakar untuk menjaga perutnya agar tidak
dimasuki barang syubhat. Jika Abu Bakar yang termasuk dalam sepuluh sahabat
yang dijamin masuk surga saja selalu menjaga diri dari barang syubhat, maka
kita semestinya memiliki tekad yang lebih besar dibandingkan beliau, untuk
memelihara diri kita dari barang syubhat,apalagi haram. Lebih-lebih pada zaman
sekarang ini kebanyakan orang menyepelekan masalah ini, bahkan sebagian
mengatakan “mencari barang yang haram
saja sulit, apalagi yang halal!”, Na’uzubillah… Asumsi seperti ini tidaklah
benar, karena Allah telah berjanji dalam Al-Quran bahwa siapa saja yang
bertakwa kepada-Nya, Dia akan memberikan jalan keluar pada setiap persolan yang
membelitnya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Untuk
itu, mari kita membersihkan hati kita. Mengapa? Bila hati seseorang bersih,
tentu ia dapat menjauhi syubhat. Sebaliknya, bila hati seseorang kotor, ia akan
selalu cenderung menjalankan perkara syubhat dengan seribu satu alasan yang
digunakan. Wallahu A’lam ***
v MUTIARA
QOLBU 7: Memandang Perbedaan Pendapat dikalangan Kaum Muslimin
Mengawali tulisan ini, penulis ingin memaparkan sebuah
kisah yang dikutip dari Fiqhu
's-Sirrah karya DR. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy. Di mana
ketika Nabi Saw dan
para sahabat kembali dari Perang Khandaq, Malaikat Jibril datang menemuinya dan
menyampaikan perintah Allah SWT agar beliau dan pasukannya menuju perkampungan
Bani Quraidhah. Beliau pun berangkat ke sana.
Sebelum keberangkatan, Nabi Saw memerintahkan
para sahabat untuk tidak melaksanakan Shalat Ashar sebelum sampai di
perkampungan tersebut. “Laa yushallianna ahadun al-'ashra illa fi bani
quraidhah". (Janganlah ada seorang pun melakukan Shalat Ashar
kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah).
Di tengah perjalanan, tibalah waktu Shalat
Ashar. Para sahabat berbeda pendapat atas perintah Nabi Saw tersebut. Sebagian
dari mereka "mengabaikan” perintah tersebut dengan melakukan Shalat
Ashar. Menurut mereka, "Sesungguhnya beliau menghendaki kita
mempercepat perjalanan, dan bukannya mengundurkan waktu shalat". Sebagian
yang lain tetap berpegang pada nash (teks) yang terucap oleh Nabi (memahaminya
secara harfiyah). Mereka tidak melakukan shalat. "Kami tidak akan
shalat sehingga kami sampai di sana," kata mereka. Terjadinya
perbedaan pendapat tersebut kemudian dilaporkan pada Nabi. Ternyata, beliau
mendiamkan hal itu, tidak mengecam ataupun menegur salah seorang pun diantara
mereka.
Kisah di atas menunjukkan pada kita, perbedaan pendapat
(khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam, tidak saja terjadi pada masa
sepeninggal Nabi atau masa kini. Bahkan, pada ketika Nabi masih hadir di
tengah-tengah umat pun terjadi perbedaan Pendapat dikalangan umat islam.
Perbedaan pendapat itu ditolerir oleh Nabi Saw (Sunnah Taqririyah).
Menurut Dr.
Yusuf al-Qardhawi, sikap diam Nabi Saw dalam kisah di atas menunjukkan pada
kita, bahwa suatu perbuatan jika disempurnakan atas dasar ijtihad, tidaklah
layak untuk dikafirkan atau dianggap dosa. Mengutip pendapat Ibnu Qayim,
Qardhawi menyatakan, kelompok pertama (yang melakukan shalat) atau berpegang
pada kandungan ucapan Nabi, adalah para pendahulu ahli qias serta mementingkan
arti (maksud). Sedangkan kelompok kedua (yang tidak shalat) atau memahami
secara tekstual ucapan Nabi adalah pendahulu ahli zhahir (bepegang pada susunan
kalimat secara harfiyah).
Bila kita
tinjau umat Islam sekarang, secara garis besar umat Islam terbagi menjadi dua
kelompok dalam memahami nash Quran ataupun hadits, utamanya yang berkenaan
dengan masalah furu' (cabang). Perbedaan
pendapat (khilafiyah) bukan hal yang harus diributkan, apalagi sampai meretakkan
ukhuwah Islamiyah karena suatu kelompok merasa paling benar dan menyalahkan
yang lain. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar. Kita, yang tidak
sanggup berijtihad sendiri, boleh saja untuk ittiba', yakni
mengikuti atau memilih pendapat mana saja sesuai keyakinan dan pemahaman kita
sendiri, disertai pengetahuan dan pemahaman akan landasan/argumen masing-masing
pendapat. Taklid buta atau asal pilih, ikut-ikutan, tanpa mengetahui dan
memahami alasannya, dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
"Janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak tahu apa-apa tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan rasa, masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya"(Q.S.
17:36).
Perbedaan
pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tak terhindarkan.
Al-Qardhawi menyatakan, perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat
manusia. Menurutnya, perbedaan pendapat dalam perkara furu' merupakan
kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan hal itu tidaklah menimbulkan kerugian dan
bahaya, selama berlandaskan ijtihad syar'i yang benar. Hal itu justru merupakan
rahmat bagi umat, menunjukkan fleksibilitas (keluwesan) dalam syariat, dan
keluasan dalam ilmu dan pengetahuan.
Para sahabat
Nabi dan para tabi'in pun, lanjut Qardhawi, sering berselisih pendapat dalam berbagai
hukum furu'. Tetapi hal itu tidak sedikit pun merugikan mereka, dan tidak pula
meretakkan persaudaraan dan persatuan mereka. Qardhawi mengingatkan, perbedaan
pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran,
wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan.
Adanya
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengakibatkan, antara lain, timbulnya
berbagai aliran dan madzhab. Dalam bidang akidah atau teologi timbul
aliran-aliran: Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan
Maturidiyah.
Dalam fiqih
atau hukum Islam muncul madzhab-madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
Dalam bidang politik muncul aliran-aliran: Sunni, Syi'ah, dan Khawarij. Dalam
tasawuf tampil aliran-aliran: Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
Dalam praktek
keagamaan, tampil ragam bentuk atau tata cara beribadah. Juga ragam sikap dan
pandangan terhadap berbagai masalah. Semuanya sama-sama mengklaim benar, karena
berdasarkan Quran dan Sunnah. Wajar, ada ungkapan "Islam itu satu, tetapi
Muslim banyak". Asalkan tidak mengklaim sebagai pihak yang paling benar
dan yang lain salah. Klaim kebenaran hanya milik Allah Swt.
Sekali lagi,
kita yang awam tidak perlu heran dan bingung akan realitas tersebut. Perbedaan
pendapat, seperti contoh kisah di atas, adalah wajar dan ditolerir. Menurut
hadits, jika suatu pendapat hasil ijtihad itu benar, maka pahalanya dua. Jika
pendapatnya salah, pahalanya cuma satu, yakni pahala untuk amal ijtihadnya.
Jadi, sama-sama mendapat pahala alias tidak dipandang dosa. Untuk ber-ittiba' tinggal pilih pendapat mana yang hendak
diikuti dengan penuh kesadaran, pengetahuan, sikap kritis, dan pemahaman yang
cukup. Artinya, dalam memilih, kita pun harus memiliki alasan dan pemahaman,
karena di akhirat nanti yang akan mempertanggungjawabkannya adalah kita
sendiri.
Dalam menyikapi
perbedaan pendapat, adalah seyogianya diperhatikan sikap toleran atau
menghargai pendapat orang lain, lapang dada (tasamuh), serta tidak merasa
paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Karena kebenaran
sepenuhnya hanyalah milik Allah SWT. Dia lah yang paling berhak menentukan mana
yang benar dan salah. Terlebih, sikap merasa paling benar dan menyalahkan yang
lain, dapat meretakkan jalinan ukhuwah Islamiyah dan persatuan kaum Muslimin.
Perbedaan
pendapat adalah realitas tak terelakkan dan bukan untuk menyebabkan perpecahan
umat Islam. Dan kita pun tak mungkin dapat menghapuskan perbedaan pendapat itu.
Upaya-upaya untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu',
jika pun ada, akan sia-sia. Karena, seperti dikatakan Muhammad Al-Buthy, upaya
demikian bertentangan dengan Hikmah Rabbaniyah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syari'at-Nya.
Saat ini kita
menyaksikan perselisihan pendapat begitu mencuat di antara para ulama, tokoh
Islam, dan umat Islam pada umumnya. Idealnya, para ulama, tokoh Islam, dan
umat Islam pada umumnya, selalu mendasarkan pendapat dan argumen pilihan pada
nash Al-Quran dan Sunnah Nabi, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok yang
sifatnya duniawi atau material. Jika kepentingan ekonomi ataupun
kepentingan politik yang lebih dominan melatarbelakangi pendapat, maka
tunggulah kenistaan dan kehancuran. Jika syariat Islam dikalahkan oleh ambisi
dan kepentingan duniawi, maka tunggulah kekacauan dan azab Allah Swt. Jika
agama hanya digunakan sebagai alat meraih dukungan atau kepentingan politik,
maka kita terjerumus ke jurang kemunafikan dan mengundang murka-Nya.
Akhirnya,
Marilah kita sadari, Jika kita sama-sama mencita-citakan ridho Allah, pasti
kita akan bersatu, hanya mendukung satu imam, seperti sering kita tunjukkan
ketika sholat berjamaah. Maka, shawwuu shufuufakum! Rapatkan
dan luruskan barisan kalian! Satu hal lagi, jika kita tidak menyikapi
perbedaan pendapat dengan benar, misalnya kita merasa paling benar lalu
menyatakan orang lain salah tanpa dasar argumentasi/dalil Quran dan Sunnah,
maka bisa-bisa kita terjerumus ke jurang syirik. Selain itu, saling menyalahkan
hanya akan menimbulkan dosa lain, yakni rusaknya ukhuwah Islamiyah. Wallahu a'lam.
v
MUTIARA
QOLBU 8: Hakikat Kesuksesan Dan Kemuliaan
Hari
ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian
manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain.
Bahwa orang hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana,
orang sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Orang
besar adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan,
serta seabrek indikator-indikator ‘palsu’ dimunculkan untuk merusak pemahaman
manusia tentang makna kesuksesan dan kemuliaan. Supaya manusia tertipu dan lupa
pada hakikat ketinggian dan kemuliaan yang sebenarnya, yakni ketaqwaan dan
ketaatan kepada Allah. “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah
yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
Mahateliti”. (QS al-Hujurat: 13)
Akibatnya,
banyak orang yang akhirnya beramal hanya demi mencari ridho dan kerelaan
manusia, tanpa peduli lagi pada pahala dan balasan dari Allah. Asal pekerjaan
itu disenangi dan dikagumi serta mulia di mata manusia, syariat Allah rela
dijadikan tumbal. Akhirnya, muncullah golongan manusia yang beramal supaya
dilihat dan dipuji oleh orang lain, atau beramal karena riya’.
Mereka berebut agar bisa menjadi objek pujian dan perhatian manusia dalam
setiap amal yang mereka kerjakan. Karena mereka menganggapnya sebagai upaya
‘mengejar kesuksesan’.
Tanpa
disadari, sebenarnya mereka sedang mengejar kesia-siaan. Mereka lupa, bahwa
hidup bukan hanya sekedar untuk mencari pujian dan kebanggaan palsu. Dan lupa,
bahwa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas
hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti
akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah,
Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya. Lalu, bagaimana
mereka yang beramal dengan menjilat manusia?
Rasulullah
ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mencari keridhaan Allah meskipun ia
memperoleh kebencian dari manusia, maka Allah akan mencukupkan dia dari
ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia
dengan mendatangkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkanya kepada
manusia.” (HR Tirmidzi).
Imam
Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi mengatakan,
“Maksudnya, Allah akan menjadikannya berada dibawah kuasa manusia, lalu mereka
menyakiti dan menganiayanya.”
Melihat
penjelasan di atas, dapatlah kiranya diambil sebuah kesimpulan bahwa hakikat
kesuksesan dan kemuliaan itu bukan terletak pada tingginya jabatan, kekayaan,
popularitas yang tinggi, namun hakikat kesuksesan dan kemuliaan itu adalah mencapai
derajat Ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah SWT semata, mencari keridhoan dan
kerelaan Allah SWT, bukan keridhaan manusia. Karena sebaik-baik tempat
bergantung itu adalah hanya kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Wallahu
A’lam ****
v MUTIARA
QOLBU 9: Mulutmu Harimaumu
Demikian bunyi
peribahasa yang melukiskan bagaimana pengaruh dari perkataan yang keluar dari
mulut kita. Dari mulut akan keluar fitnah, adu domba, serta provokator, yang
bisa berlanjut jadi adu jotos.
Rasulullah SAW
berpesan kepada kaum muslimin agar memelihara mulut. Tidak memperbanyak
pembicaraan, kecuali yang jelas mengandung maslahat. Manakala berbicara dan
diam sama dalam mendatangkan kemaslahatan, maka berdiam diri lebih baik. Sebab
berbicara kadang-kadang menyeret kepada hal-hal terlarang atau kepada yang
tidak disenangi. Nabi bersabda : "Seseorang mengucapkan perkataan yang
tidak jelas baginya, dia akan tergelincir akibat ucapannya itu ke dalam neraka lebih
jauh daripada jarak antara Timur dan Barat." (HR. Bukhari-Muslim).
Mulut sekalipun
anggota badan yang paling kecil, namun bahaya yang ditimbulkan lebih besar dan
dahsyat. Kejelekkannya jauh lebih cepat menjalarnya manakala tidak dikendalikan
dengan dzikir dan ketaqwaan. Betapa banyak orang yang berkedudukan tinggi
seperti DPR, MPR, Pejabat Pemerintah jatuh terperosok akibat
ucapan/pernyataannya. Sebab pernyataannya menimbulkan fitnah dan permusuhan di
antara manusia.
Apa-apa yang
keluar dari mulut akan mewarnai kehidupan. Apabila yang keluar baik, maka akan
membawa dampak yang baik, namun jika yang keluar tidak baik, maka akan
berdampak buruk bagi kehidupan. Oleh sebab itu, keselamatan kehidupan adalah
bersumber dari mulut/lisan.
Perkataan yang
baik adalah ucapan yang berisi ajakan ke jalan Allah dan mengandung nasehat
untuk menjadi orang yang bertakwa kepada-Nya, sabar terhadap ujian-Nya dan
istiqomah dalam berjuang menegakkan syariat-Nya, serta gemar beramal shaleh.
Sedangkan perkataan yang keji dan kotor adalah perkataan yang suka mencela dan mengutuk, sebab perkataan ini akan menabur dendam, kebencian dan permusuhan.
Sedangkan perkataan yang keji dan kotor adalah perkataan yang suka mencela dan mengutuk, sebab perkataan ini akan menabur dendam, kebencian dan permusuhan.
Sayyidina Ali
RA berpesan : "Sungguh aku tak menyukai kalian menjadi kaum pengumpat dan
pencaci maki. Tetapi sekiranya kalian menyatakan tentang perbuatan-perbuatan
mereka menurut apa adanya dan menyebutkan keadaan mereka sebenarnya, tentunya
yang demikian itu lebih tepat untuk dibicarakan dan lebih lebih mengena sebagai
kecaman. Sebagai ganti cercaan sebaiknya kalian berkata : "Ya Allah, hentikanlah
penumpahan darah kami dan darah mereka. Perbaikilah hubungan antara kami dan
mereka! Tunjukkilah mereka jalan keluar dari kesesatan mereka, sehingga
kebenaran muncul dalam diri orang-orang yang tadinya tidak mengenalnya;
kesesatan dan pelanggaran dihentikan oleh siapa saja yang tadinya amat gemar
menjalaninya.""
Lidah itu
laksana seekor binatang buas, bila dilepaskan pasti membunuh. Siapa saja yang
banyak bicaranya, pasti banyak pula kesalahannya. Siapa saja banyak menggunakan
pikirannya, kebenaran akan tampak nyata baginya. Oleh sebab itu hati-hatilah
dalam berbicara. Wallahu A’lam…..
v MUTIARA
QOLBU 10: Mana Yang
Lebih Prioritas: Hablumminallah Atau Hablumminannaas?
Islam
mengajarkan keseimbangan. Artinya, meski kita hidup di dunia hanya sementara,
dan kehidupan di dunia hanyalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang kekal,
akan tetapi Islam sama sekali tidak menafikan kebutuhan duniawi kita. Oleh
karena itu, dalam Islam dikenal istilah Hablumminallah dan Hablumminannaas,
yaitu hubungan vertikal antara manusia dengan Allah sang Pencipta, dan hubungan
horizontal antara manusia dengan sesamanya.
Pada dasarnya, Hablumminallah maupun Hablumminannaas bukanlah
hal yang terpisah, justru keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi dan
menjelaskan. Maksudnya adalah ketika hubungan kita dengan Allah sedang baik,
intens, dekat, hal itu pasti akan berefek pada hablumminannas kita.
Tiba-tiba saja ada orang yang membantu kita menyelesaikan permasalahan yang pelik,
hubungan kita dengan keluarga semakin lebih baik, hubungan dengan teman-teman
jadi tambah asyik, pokoknya banyak terjadi hal yang seolah magic.
Begitu
pula sebaliknya, ketika Hablumminallah kita buruk, biasanya
akan mempengaruhi hubungan kita dengan sesama manusia, entah itu orangtua kita,
sahabat, teman sekelas, teman sekerja, tetangga, bahkan hubungan dengan orang
yang tidak kita kenal pun bisa ikut-ikutan buruk! Tiba-tiba saja ada yang
mencuri HP kita, atau aib yang selama ini kita tutup-tutupi terbongkar, bahkan
hal yang seharusnya tidak jadi masalah malah jadi masalah besar, pokoknya
hari-hari terasa susah dan tambah gerah. Hal ini memberikan arti bahwa Hablumminallah mempengaruhi Hablumminannaas.
Demikian
juga, hubungan kita dengan sesama manusia dapat menjelaskan keadaan hubungan
kita dengan Allah.Artinya, ketika kita merasa hubungan dengan keluarga lagi
jelek, hubungan dengan rekan sekerja atau teman sekelas juga begitu, tiap kita
bicara selalu ada yang keliru, rasanya seluruh dunia menjadi musuh. Bisa
jadi... hal tersebut merupakan alarm peringatan bahwa Hablumminallah kita
sedang dalam kondisi yang harus segera diperbaiki!
Berkaitan
dengan ini menurut hemat penulis, Kita tetap harus memprioritaskan hablumminallah sebelum hablumminannaas.
Karena kita bisa melihat dari seruan al-Quran yang selalu mengedepankan
"Dirikan shalat!" baru kemudian "Tunaikan zakat!" bukan
sebaliknya.Artinya, seberapa pun sibuknya aktivitas sosialmu, jikalau waktu
shalat sudah tiba, kedepankanlah shalat.
Namun
jangan terjebak menjadikan shalat sebagai aktivitas ritual belaka, yang
dilaksanakan karena wajib, bukan karena kesadaran penuh. Kualitas shalat kita
ini bisa teruji dari kualitas hubungan sosial kita dengan sesama manusia,
seperti yang telah kita bahas di atas. Bahkan, kita mestinya mempelajari shalat
lebih dalam dan lebih maknawi dengan membaca buku-buku yang mengupas khusus
tentang shalat. Jangan puas sekedar menghapal bacaan dan tata cara shalat,
karena perkara shalat bukan masalah sepele. Wallahu A’lam ***
Biografi Penulis: Riki Sutiono, M.Pd.I lahir di
Bengkalis, Riau 04 Januari 1990. Pendidikan Formal jenjang S1 diselesaikan pada
tahun 2012 dengan mengambil Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Pendidikan Formal S2 diselesaikan pada
tahun 2015 mengambil Program Studi
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Pasca Sarjana UIN Suska Riau. Pengalaman Kerja
diantaranya sebagai Tenaga Pengajar di SDIT Bintang Cendekia Pekanbaru Riau,
Dosen STAI Al Azhar Pekanbaru Riau dan saat ini penulis terdaftar sebagai dosen
tetap di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) STAIN Bengkalis.
Penulis bisa dihubungi di nomor WA 085278207141 atau email: sutionoriki@gmail.com.
Alhamdulillah, syukron atas ilmunya, ijin saya buat sebagai bahan tausiyah ya akhi
BalasHapus