Teks Khutbah
Lebih
Memahami Bid’ah
Oleh: Riki Sutiono
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذى أرسل رسوله بالهدى
ودين الحق, ليظهره على الدين كله, ولو كره المشركون, أشهد أن لا إله إلا الله الواحد الصمد, إياه نعبد وإياه نستعين , واشهد
أن محمدا عبده ورسوله بشيرا ونذيرا,
وداعيا إلى الله بإذنه, وسراجا
منيرا, اللهم صل على محمد وعلى أله وصحبه
أجمعين, أما بعد: فيا أيها المسلمون
رحمكم الله, أصيكم بنفسى بتقوى
الله فقد فاز فوزا عظيما. فقد قال الله سبحانه وتعالى فى كتابه العزيز: ﴿وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى
الله ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ﴾
{البقرة:281
Hadirin Jama’ah Jum’at Yang dimuliakan Allah
Tiada
kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini
melainkan kata-kata syukur kepada Allah SWT yang telah mencurahkan dan
mencucurkan berbagai kenikmatan kepada kita semua, sehingga kita semua dapat
berkumpul dalam majelis ini dalam keadaan sehat wal aafiyat. Dan marilah kita
realisasikan rasa syukur kita dengan melakukan perintah-Nya serta menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Sholawat
beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan insya
Allah terlimpah pula kepada kita selaku umatnya yang senantiasa berusaha untuk
meneladani Beliau, dengan ucapan: Allahuma
sholli ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.
Kemudian
tak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jamaah semuanya,
marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah
SWT. karena keimanan dan ketaqwaan merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat
nanti.
Allah SWT berfirman :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ
يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
"Berbekallah kalian, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.
"Berbekallah kalian, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.
(Q.S Al-Baqoroh: 197).
Hadirin Jama’ah Jum’at Yang dimuliakan Allah
Salah satu benih perselisihan di kalangan umat Islam, dan
tidak jarang menjadi sumber ketegangan yang berkepanjangan adalah suka
menyalahkan amalan ibadah satu kelompok atau komunitas umat Islam oleh kelompok
lain, karena perbedaan pemahaman yang sempit.
Dan
salah satu yang menjadi ikhtilaf di kalangan umat Islam adalah perbedaan
memahami satu hadis yang cukup masyhur, sahih, dan diriwayatkan oleh imam-imam
hadis terpercaya. Redaksi hadis dimaksud adalah:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّار
"… Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi
Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, alias
bid'ah, dan semua bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya
di neraka" (HR. Muslim, Kitâbul Jum’at No. 2042).
Imam
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis:
قَالَ النَّبِي: "مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"
"Siapa saja yang mengadakan
perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak"
Oleh
sebagian kalangan, rangkaian hadis di atas dijadikan dalil untuk menyebut
setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah. Khitab-nya
bersifat ‘am, mutlak tanpa pengecualian. Artinya, setiap perkara
baru dalam mu'amalah keagamaan itu bid’ah, tanpa kecuali. Dan setiap yang
bid’ah itu sesat, dan balasannya pasti neraka.
Poin
dasarnya adalah redaksi kalimat hadis: "kullu bid'atin”
artinya setiap sesuatu yang bid'ah, semuanya, tanpa kecuali. Hal-hal yang
bersifat agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah.
Muludan, tahlilan, bacaan barzanji, majelis salawatan, haul, dll adalah contoh
amalan yang seringkali dicap sebagai perkara munkar, karena tidak ada
landasan syar’i secara langsung. Benarkah demikian cara
memahaminya? Mari kita tinjau dari beberapa aspek berikut...
Kaum muslimin yag berbahagia…
Secara
subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina hâdza”
yang dilarang untuk di-bid’ahkan? Apakah semua perkara, semua hal yang tidak
dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah?
Secara
logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang
berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan
Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah
bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi
ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr,
jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara
agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan
larangan.
Mengimani,
mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya, bersifat ta’abbudi.
Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat raka’at, shalat subuh dua
raka’at. Ikuti saja! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain.
Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus di kota Mekkah. Tidak perlu
kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
Improvisasi
atau merubah perkara ushul/pokok agama itu terlarang, karena sifatnya ibadah
mahdhah. Contohnya Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab
akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang. Mengingkari kewajiban
shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya Islam
seseorang.
Namun,
dalam hal furû’ul aqîdah (cabang-cabang aqidah) dan furû’us
syarîah (cabang-cabang syariah), terbuka kemungkinan ijtihad atau
perbedaan pendapat tanpa merombak status keimanan dan keislamanan seseorang.
Adapun contoh furû’us
syarîah /cabang syariah yang menjadi perbedaan dikalangan ulama adalah
seperti bacaan Fâtihah dengan bismillah jahr (keras)
atau sirr (lirih), subuh dengan qunut atau tidak, posisi
tangan sedekap atau tidak, mata kaki harus mepet dalam shaf atau tidak,
bilangan salat tarawih, dsb. Begitu juga manasik haji. Itu semua adalah
perkara furu’.
Dalam
perkara furû’us syarîah, ruang ijtihadnya jauh lebih terbuka, karena itu ambang
toleransinya harus lebih tinggi. Imam al-Haramain al-Juwaini, guru Imam
Ghazali, menyatakan sebagian besar hukum agama (syariah) lahir dari ijtihad. (inna
mu’dzamas syarîah shâdara minal ijtihâd). Mengapa? Karena usuhûlus
syarîah atau pokok syari’at itu sedikit, selebihnya adalah
perkara-perkara furu’ atau cabang yang bersifat ijtihâdiyyah.
Dalam
perkara furu’ inilah lahir madzhab-madzhab fikih, ribuan, tetapi kemudian terseleksi
oleh zaman ke dalam empat madzhab besar, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan
Hanbali.
Jadi
jelas sudah, dalam ibadah mahdloh (wajib) tidak boleh ada perbedaan dari apa
yang sudah diajarkan oleh Rasulullah, seperti jumlah rakaat shalat dan lain sebagainya.
Tapi
dalam ibadah muthlaqah atau ‘Adat yaitu seluruh amal manusia
yang dinilai ibadah karena niat dan illat yaitu faktor atau alasan
yang menentukan hokum, justru terbuka ruang ijtihad.
Kesalahan
dasar kelompok muslim tekstualis adalah ketidakmampuan membedakan usuhûl dan furû;
tidak faham mana ibadah mahdhoh, dan mana ibadah muthlaqah.
Semua dianggap ibadah mahdhoh, karena itu harus ada dalil dan
petunjuk yang persis dari Rasulullah. Mereka menolak muludan, tahlilan,
yasinan, haul, solawatan dst, persis karena tidak dicontohkan Rasulullah.
Imam
Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah
ta’abbud dan harus ada nas atau dalilnya. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah
muthlaqah) adalah mencari illat dan qiyas.
Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan
dengan nash itu boleh-boleh saja, tergantung illat-nya atau
alasannya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul,
solawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat.
Jika
niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang
sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara
personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Memakai jubah
dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni
karena budaya, hukumnya mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan
dampaknya ujub atau sombong, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama
sekali.
Dalam
ibadah muthlaqah (‘Adat),
jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tanyakan: mana dalil yang
melarangnya. Dalam ibadah muthlaqah, kaidah fikih yang berlaku
adalah: "al-ashlu fil asyyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla –d dalîl alâ
khilâfih" (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya).
Sementara
dalam ibadah mahdloh (Wajib),
kaidah yang berlaku sebaliknya, “al-ashlu fil asyyâ’ at-tahrîm hatta yadulla
–d dalîl alal ibâhah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang
membolehkannya).
Jika
ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan muludan, tidak usah sibuk buka
kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya!
Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah
sibuk buka kitab mencari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya!
Ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena
dalil sharîh, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
Jama'ah Sekalian Yang Berbahagia…
Itu
tadi dua aspek sudah kita kemukakan. Dan aspek ketiga untuk lebih memahami
hadis tentang bid'ah adalah historis Islam. Jika semua yang tidak
dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi akhir zaman ini, tidak
akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber Islam paling pokok adalah
al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama melalui ijma’ dan qiyas.
Kita
bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan
Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di
dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatan al-Qur’an
terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu.
Sesudah perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an
gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpun
mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa
naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar
dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.”
Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui
usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan
al-Qur’an.
Seandainya
kita ikuti kelompok literalis, menganggap semua hal yang tidak dilakukan
Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak bisa baca al-Qur’an! Di zaman
Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan besar-besaran, dibagikan secara massif
keluar tanah Hijaz.
Mushaf
telah dihimpun di zaman Abu Bakar, dicetak massif dan dibagikan di zaman
Utsman.
Orang
selain Arab, seperti kita, tetap tidak bisa baca al-Qur’an tanpa bantuan bid’ah
para ulama. Jangan bayangkan mushaf zaman dulu seperti sekarang. Dulu huruf
Arab gundul, betul-betul gundul, tanpa titik dan harakat. Kita tidak bisa
membedakan huruf Ta’, Ba’ dan Tsa’,
karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad dan Dhad juga
tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakkan titik ke dalam huruf Arab
adalah Abu-l Aswad ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in. Seabad
kemudian, Imam Kholil ibn Ahmad al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi
dengan harakat sehingga kita mengenal harakat fathah, kasrah, dhammah, sukun,
tanwin, dst.
Tanpa
"bantuan" bid’ah dua ulama ini, orang 'ajam (bukan Arab) seperti kita
tidak akan bisa membaca al-Qur’an. Kita juga berhutang kepada Abu Ubaid Qosim
ibn Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu tajwîd, sehingga untaian ayat
al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi, tanpa bid’ah Sahabat dan
ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan membacanya dengan baik dan benar.
Sumber
kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah
bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu
“Janganlah
kalian tulis (apa-apa) dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an,
hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan
melarangnya. (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah
al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30):
Jika
kita ikuti cara baca kelompok muslim literalis, kita tidak bisa mengenal sumber
Islam yang kedua. Kitab-kitab hadis yang terhimpun seperti al-Muwattha’ karya
Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kitab-kitab sunan
(Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah) adalah produk bid’ah
karena tidak diajarkan Rasulullah, bahkan dilarangnya.
Karena
itu, sungguh membingungkan jika ada jargon kelompok tekstualis yang menggemakan
“Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf
adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui
kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan
bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah
habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru
kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali
berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Jam'ah Sekalian Rahimakumullah…
Fakta-fakta
di atas, tentunya mematahkan argumen pokok kelompok literalis yang memukul rata
semua bid’ah. Makanya, para ulama telah mengajari kita untuk membuat
pengelompokan bid'ah. Syaikh ‘Izzuddin ibn Abd Salam, sebagaimana dikutip Ibn
Hajar al-Asqalani, membagi bid’ah ke dalam lima kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram. Bidah wajib seperti menciptakan ilmu bantu untuk memahami
al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul fiqh, dst. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan
tetapi tidak ada di zaman Rasulullah seperti teraweh berjama’ah, membangun
sekolah dan pondok, serta forum-forum kajian. Bidah mubah seperti salaman
selepas shalat dan makan-minum yang lezat, mengenakan baju yang indah, dan
memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah perkara baru yang jelas
menentang al-Qur’an dan Sunnah (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr
Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 13, hal. 214).
Akhirnya,
semoga Allah semakin membukakan pintu hati kita, membuka cakrawala pemikiran
dan pengetahuan kita dalam beragama, serta menghilangkan syak atau
keraguan dalam menjalankan ibadah dan muamalah hasana. Amin Ya Rabbal alamin…
بارك الله لى ولكم فى القرآن
العظيم ونفعنى وإياكم من الآيات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم إله هو الغفور
الرحيم.
Khutbah
Kedua
اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا
اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَ
كَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ حَبِيْبُهُ وَ
خَلِيْلُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ وَ الْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ
بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله اِتَّقُوْا الله وَ اعْلَمُوْا
اَنَّ الله يُحِبُّ مَكَارِمَ الْأُمُوْرِ وَ يَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا
يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ اَنْ يَّكُوْنُوْا فِى تَكْمِيْلِ
اِسْلَامِهِ وَ اِيْمَانِهِ وَ اِنَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى
اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَ
عَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ
الْأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ وَ قَاضِيَ
الْحَاجَاتِ. اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا
وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا لَا
تَجْعَلْ فِى قُلُوْبَنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ اَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ
رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا هَبْلَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ
اَعْيُنٍ وَ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. رَبَّنَا اَتِنَا فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ الله! اِنَّ الله يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ
اِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ
الْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا الله الْعَظِيْمَ
يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَ لَذِكْرُ اللهِ
اَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar