Memandang Perbedaan Pendapat dikalangan Kaum Muslimin
Oleh: Riki Sutiono (Dosen STAIN Bengkalis)
Mengawali tulisan ini, penulis ingin memaparkan sebuah
kisah yang dikutip dari Fiqhu 's-Sirrah karya DR. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy. Di
mana ketika Nabi
Saw dan para sahabat kembali dari Perang Khandaq, Malaikat Jibril datang
menemuinya dan menyampaikan perintah Allah SWT agar beliau dan pasukannya
menuju perkampungan Bani Quraidhah. Beliau pun berangkat ke sana.
Sebelum keberangkatan, Nabi Saw memerintahkan
para sahabat untuk tidak melaksanakan Shalat Ashar sebelum sampai di
perkampungan tersebut. “Laa yushallianna ahadun al-'ashra illa fi bani
quraidhah". (Janganlah ada seorang pun melakukan Shalat Ashar
kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah).
Di tengah perjalanan, tibalah waktu Shalat
Ashar. Para sahabat berbeda pendapat atas perintah Nabi Saw tersebut. Sebagian
dari mereka "mengabaikan” perintah tersebut dengan melakukan Shalat
Ashar. Menurut mereka, "Sesungguhnya beliau menghendaki kita
mempercepat perjalanan, dan bukannya mengundurkan waktu shalat". Sebagian
yang lain tetap berpegang pada nash (teks) yang terucap oleh Nabi (memahaminya
secara harfiyah). Mereka tidak melakukan shalat. "Kami tidak akan
shalat sehingga kami sampai di sana," kata mereka. Terjadinya
perbedaan pendapat tersebut kemudian dilaporkan pada Nabi. Ternyata, beliau
mendiamkan hal itu, tidak mengecam ataupun menegur salah seorang pun diantara
mereka.
Kisah di atas menunjukkan pada kita, perbedaan pendapat
(khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam, tidak saja terjadi pada masa
sepeninggal Nabi atau masa kini. Bahkan, pada ketika Nabi masih hadir di
tengah-tengah umat pun terjadi perbedaan Pendapat dikalangan umat islam. Perbedaan
pendapat itu ditolerir oleh Nabi Saw (Sunnah Taqririyah).
Menurut Dr.
Yusuf al-Qardhawi, sikap diam Nabi Saw dalam kisah di atas menunjukkan pada
kita, bahwa suatu perbuatan jika disempurnakan atas dasar ijtihad, tidaklah
layak untuk dikafirkan atau dianggap dosa. Mengutip pendapat Ibnu Qayim,
Qardhawi menyatakan, kelompok pertama (yang melakukan shalat) atau berpegang
pada kandungan ucapan Nabi, adalah para pendahulu ahli qias serta mementingkan
arti (maksud). Sedangkan kelompok kedua (yang tidak shalat) atau memahami
secara tekstual ucapan Nabi adalah pendahulu ahli zhahir (bepegang pada susunan
kalimat secara harfiyah).
Bila kita
tinjau umat Islam sekarang, secara garis besar umat Islam terbagi menjadi dua
kelompok dalam memahami nash Quran ataupun hadits, utamanya yang berkenaan
dengan masalah furu' (cabang). Perbedaan
pendapat (khilafiyah) bukan hal yang harus diributkan, apalagi sampai
meretakkan ukhuwah Islamiyah karena suatu kelompok merasa paling benar dan
menyalahkan yang lain. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar. Kita,
yang tidak sanggup berijtihad sendiri, boleh saja untuk ittiba', yakni mengikuti atau memilih pendapat mana
saja sesuai keyakinan dan pemahaman kita sendiri, disertai pengetahuan dan
pemahaman akan landasan/argumen masing-masing pendapat. Taklid buta atau asal
pilih, ikut-ikutan, tanpa mengetahui dan memahami alasannya, dilarang. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT:
"Janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak tahu apa-apa tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan rasa, masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya"(Q.S.
17:36).
Perbedaan
pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tak terhindarkan.
Al-Qardhawi menyatakan, perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat
manusia. Menurutnya, perbedaan pendapat dalam perkara furu' merupakan
kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan hal itu tidaklah menimbulkan kerugian dan
bahaya, selama berlandaskan ijtihad syar'i yang benar. Hal itu justru merupakan
rahmat bagi umat, menunjukkan fleksibilitas (keluwesan) dalam syariat, dan
keluasan dalam ilmu dan pengetahuan.
Para sahabat
Nabi dan para tabi'in pun, lanjut Qardhawi, sering berselisih pendapat dalam
berbagai hukum furu'. Tetapi hal itu tidak sedikit pun merugikan mereka, dan
tidak pula meretakkan persaudaraan dan persatuan mereka. Qardhawi mengingatkan,
perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap
toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan
pandangan.
Adanya
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengakibatkan, antara lain, timbulnya
berbagai aliran dan madzhab. Dalam bidang akidah atau teologi timbul
aliran-aliran: Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan
Maturidiyah.
Dalam fiqih
atau hukum Islam muncul madzhab-madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
Dalam bidang politik muncul aliran-aliran: Sunni, Syi'ah, dan Khawarij. Dalam
tasawuf tampil aliran-aliran: Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
Dalam praktek
keagamaan, tampil ragam bentuk atau tata cara beribadah. Juga ragam sikap dan
pandangan terhadap berbagai masalah. Semuanya sama-sama mengklaim benar, karena
berdasarkan Quran dan Sunnah. Wajar, ada ungkapan "Islam itu satu, tetapi
Muslim banyak". Asalkan tidak mengklaim sebagai pihak yang paling benar
dan yang lain salah. Klaim kebenaran hanya milik Allah Swt.
Sekali lagi,
kita yang awam tidak perlu heran dan bingung akan realitas tersebut. Perbedaan
pendapat, seperti contoh kisah di atas, adalah wajar dan ditolerir. Menurut
hadits, jika suatu pendapat hasil ijtihad itu benar, maka pahalanya dua. Jika
pendapatnya salah, pahalanya cuma satu, yakni pahala untuk amal ijtihadnya.
Jadi, sama-sama mendapat pahala alias tidak dipandang dosa. Untuk ber-ittiba' tinggal pilih pendapat mana yang hendak
diikuti dengan penuh kesadaran, pengetahuan, sikap kritis, dan pemahaman yang
cukup. Artinya, dalam memilih, kita pun harus memiliki alasan dan pemahaman,
karena di akhirat nanti yang akan mempertanggungjawabkannya adalah kita
sendiri.
Dalam menyikapi
perbedaan pendapat, adalah seyogianya diperhatikan sikap toleran atau
menghargai pendapat orang lain, lapang dada (tasamuh), serta tidak merasa
paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Karena kebenaran
sepenuhnya hanyalah milik Allah SWT. Dia lah yang paling berhak menentukan mana
yang benar dan salah. Terlebih, sikap merasa paling benar dan menyalahkan yang
lain, dapat meretakkan jalinan ukhuwah Islamiyah dan persatuan kaum Muslimin.
Perbedaan
pendapat adalah realitas tak terelakkan dan bukan untuk menyebabkan perpecahan
umat Islam. Dan kita pun tak mungkin dapat menghapuskan perbedaan pendapat itu.
Upaya-upaya untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu',
jika pun ada, akan sia-sia. Karena, seperti dikatakan Muhammad Al-Buthy, upaya
demikian bertentangan dengan Hikmah Rabbaniyah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syari'at-Nya.
Saat ini kita
menyaksikan perselisihan pendapat begitu mencuat di antara para ulama, tokoh
Islam, dan umat Islam pada umumnya. Idealnya, para ulama, tokoh Islam, dan
umat Islam pada umumnya, selalu mendasarkan pendapat dan argumen pilihan pada nash
Al-Quran dan Sunnah Nabi, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok yang
sifatnya duniawi atau material. Jika kepentingan ekonomi ataupun
kepentingan politik yang lebih dominan melatarbelakangi pendapat, maka
tunggulah kenistaan dan kehancuran. Jika syariat Islam dikalahkan oleh ambisi
dan kepentingan duniawi, maka tunggulah kekacauan dan azab Allah Swt. Jika
agama hanya digunakan sebagai alat meraih dukungan atau kepentingan politik,
maka kita terjerumus ke jurang kemunafikan dan mengundang murka-Nya.
Akhirnya, Marilah
kita sadari, Jika kita sama-sama mencita-citakan ridho Allah, pasti kita akan
bersatu, hanya mendukung satu imam, seperti sering kita tunjukkan ketika sholat
berjamaah. Maka, shawwuu shufuufakum! Rapatkan
dan luruskan barisan kalian! Satu hal lagi, jika kita tidak menyikapi
perbedaan pendapat dengan benar, misalnya kita merasa paling benar lalu
menyatakan orang lain salah tanpa dasar argumentasi/dalil Quran dan Sunnah,
maka bisa-bisa kita terjerumus ke jurang syirik. Selain itu, saling menyalahkan
hanya akan menimbulkan dosa lain, yakni rusaknya ukhuwah Islamiyah. Wallahu a'lam.