Rabu, 28 Februari 2018

Melihat Wajah Pendidikan Indonesia 1



Oleh :
Riki Sutiono (Dosen STAIN Bengkalis)


Pendidikan adalah suatu proses untuk mendewasakan manusia atau dengan kata lain pendidikan merupakan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna.
Melihat wajah pendidikan Indonesia saat ini,bila dilihat dari segi kualitas sarana dan prasarana pembelajaran memang ada peningkatan yang signifikan dibanding dengan wajah pendidikan saat dahulu. Semua kini berasaskan teknologi, sehingga informasi begitu cepat dapat diakses dan dipelajari.  
Disatu sisi kita bangga dengan keadaan ini, artinya kita merasa tidak ketinggalan dan kalah saing dengan negara – negara maju lainnya. Namun disisi lain, kadang hati ini serasa diiris dengan pisau yang tajam ketika melihat di media massa terkait ada kasus pembunuhan sosok guru oleh muridnya sendiri.
Entah apa yang penulis rasakan, bilamana penulis mengingat kembali sosok seorang guru yang telah mendidik penulis dimulai dari bangku SD sampai dengan di Perguruan Tinggi. Guru pada waktu itu adalah sosok yang hormati dan disegani, bahkan derajatnya sama dengan orang tua kandung kita di rumah. Terkadang suatu ketika berpapasan dengan guru di jalan, seolah diri ini ingin sekali balik arah atau belok ke jalan yang lain ketimbang harus berpapasan dengan guru kita, hal ini bukan menandakan kita sombong dan tidak ramah dengan guru, akan tetapi kita merasa segan bila bertemu dengan seorang guru pada waktu itu.
Namun sekarang, kisah seorang guru yang dihormati dan disegani muridnya itu rupanya hanya tinggal cerita dan kenangan saja. Guru sekarang jangankan dihormati dan disegani oleh muridnya, namun malah dengan teganya menganiaya bahkan membunuhnya.
Apakah ini buah hasil dari kualitas sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai? Apakah ini produk dari teknologi yang sedemikian canggih yang begitu mudahnya informasi dapat diakses? Muncul sebuah pertanyaan, ini Semua Salah Siapa? Siswa kah? Guru kah? Orang tua kah? Lingkungan kah? Kurikulum kah? Menteri Pendidikan bahkan Presiden Kah? Wallahu Alam…..
Beragam jawaban yang diberikan oleh masyarakat menyikapi kasus ini. Ada yang menyalahkan siswanya, karena siswanya kurang ajar, tidak mempunyai rasa hormat kepada guru, siswanya lagi mencari jati diri dan terkesan emosian. Ada yang menyalahkan gurunya karena tak pandai dalam melakukan pendekatan kepada siswanya. Ada juga yang menyalahkan orang tuanya karena tidak mendidik ilmu agama ketika di rumah. Bahkan ada yang menyalahkan menteri pendidikan dan pemerintah dikarenakan ada aturan HAM yang membatasi guru dalam mendidik siswa. Sehingga seolah – olah HAM menjadi sebuah senjata pamungkas bilamana ada seorang melakukan sebuah kekerasan kecil kepada muridnya.
Melihat dan memahami beragam jawaban yang dilontarkan masyarakat terkait hal ini, bila dilihat dari segi isi, masing – masing ada benarnya juga. Semua memiliki peranan dan berpengaruh terhadap proses dan hasil pendidikan. Wallahu Alam…



Rabu, 21 Februari 2018

Memahami Bid'ah


MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Riki Sutiono



Salah satu benih perselisihan di kalangan umat Islam, dan tidak jarang menjadi sumber ketegangan yang berkepanjangan adalah suka menyalahkan amalan ibadah satu kelompok atau komunitas umat Islam oleh kelompok lain, karena perbedaan pemahaman yang sempit.
Dan salah satu yang menjadi ikhtilaf di kalangan umat Islam adalah perbedaan memahami satu hadis yang cukup masyhur, sahih, dan diriwayatkan oleh imam-imam hadis terpercaya. Redaksi hadis dimaksud adalah:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّار

"… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, alias bid'ah, dan semua bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" (HR. Muslim, Kitâbul Jum’at No. 2042).

Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis:

قَالَ النَّبِي: "مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"

"Siapa saja yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak"
Oleh sebagian kalangan, rangkaian hadis di atas dijadikan dalil untuk menyebut setiap perkara yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah. Khitab-nya bersifat ‘am, mutlak tanpa pengecualian. Artinya, setiap perkara baru dalam mu'amalah keagamaan itu bid’ah, tanpa kecuali. Dan setiap yang bid’ah itu sesat, dan balasannya pasti neraka.
Poin dasarnya adalah redaksi kalimat hadis: "kullu bid'atin” artinya setiap sesuatu yang bid'ah, semuanya, tanpa kecuali. Hal-hal yang bersifat agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah. Muludan, tahlilan, bacaan barzanji, majelis salawatan, haul, dll adalah contoh amalan yang seringkali dicap sebagai perkara munkar, karena tidak ada landasan syar’i secara langsung. Benarkah demikian cara memahaminya? Mari kita tinjau dari beberapa aspek berikut...
Secara subtansial, perkara apakah di dalam teks hadis “Man ahdatsa fi amrina hâdza” yang dilarang untuk di-bid’ahkan? Apakah semua perkara, semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah?
Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah bid’ah. Hal-hal baik, seperti dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi ponsel, alat pengeras suara imam shalat, semua adalah bid’ah. Perkara (amr, jamak umûr) di situ, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, maksudnya adalah perkara agama (amrud dîn), berupa pokok-pokok hukum syara’, mencakup perintah dan larangan.
Mengimani, mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya, bersifat ta’abbudi. Tidak perlu bertanya kenapa shalat dhuhur empat raka’at, shalat subuh dua raka’at. Ikuti saja! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain. Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus di kota Mekkah. Tidak perlu kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
Improvisasi atau merubah perkara ushul/pokok agama itu terlarang, karena sifatnya ibadah mahdhah. Contohnya Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang. Mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya Islam seseorang. 
Namun, dalam hal furû’ul aqîdah (cabang-cabang aqidah) dan furû’us syarîah (cabang-cabang syariah), terbuka kemungkinan ijtihad atau perbedaan pendapat tanpa merombak status keimanan dan keislamanan seseorang.
Adapun contoh furû’us syarîah /cabang syariah yang menjadi perbedaan dikalangan ulama adalah seperti bacaan Fâtihah dengan bismillah jahr (keras) atau sirr (lirih), subuh dengan qunut atau tidak, posisi tangan sedekap atau tidak, mata kaki harus mepet dalam shaf atau tidak, bilangan salat tarawih, dsb. Begitu juga manasik haji. Itu semua adalah perkara furu’. 
Dalam perkara furû’us syarîah, ruang ijtihadnya jauh lebih terbuka, karena itu ambang toleransinya harus lebih tinggi. Imam al-Haramain al-Juwaini, guru Imam Ghazali, menyatakan sebagian besar hukum agama (syariah) lahir dari ijtihad. (inna mu’dzamas syarîah shâdara minal ijtihâd). Mengapa? Karena usuhûlus syarîah atau pokok syari’at itu sedikit, selebihnya adalah perkara-perkara furu’ atau cabang yang bersifat ijtihâdiyyah. 
Dalam perkara furu’ inilah lahir madzhab-madzhab fikih, ribuan, tetapi kemudian terseleksi oleh zaman ke dalam empat madzhab besar, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
Jadi jelas sudah, dalam ibadah mahdloh (wajib) tidak boleh ada perbedaan dari apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah, seperti jumlah rakaat shalat dan lain sebagainya. Tapi dalam ibadah muthlaqah atau ‘Adat yaitu seluruh amal manusia yang dinilai ibadah karena niat dan illat yaitu faktor atau alasan yang menentukan hokum, justru terbuka ruang ijtihad. 
Kesalahan dasar kelompok muslim tekstualis adalah ketidakmampuan membedakan usuhûl dan furû; tidak faham mana ibadah mahdhoh, dan mana ibadah muthlaqah. Semua dianggap ibadah mahdhoh, karena itu harus ada dalil dan petunjuk yang persis dari Rasulullah. Mereka menolak muludan, tahlilan, yasinan, haul, solawatan dst, persis karena tidak dicontohkan Rasulullah.
Imam Abu Ishaq as-Syatibi menyatakan, “Hukum asal ibadah (mahdloh) adalah ta’abbud dan harus ada nas atau dalilnya. Sementara hukum asal ‘adat (ibadah muthlaqah) adalah mencari illat dan qiyas. Maksudnya, adat selagi tidak bertentangan dengan nash itu boleh-boleh saja, tergantung illat-nya atau alasannya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, solawatan bukan ibadah mahdhoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat. 
Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat (baik secara personal maupun sosial), hukumnya sunnah, bernilai ibadah tinggi. Memakai jubah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumnya mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan dampaknya ujub atau sombong, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.
Dalam ibadah muthlaqah (‘Adat), jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tanyakan: mana dalil yang melarangnya. Dalam ibadah muthlaqah, kaidah fikih yang berlaku adalah: "al-ashlu fil asyyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla –d dalîl alâ khilâfih" (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya). 
Sementara dalam ibadah mahdloh (Wajib), kaidah yang berlaku sebaliknya, “al-ashlu fil asyyâ’ at-tahrîm hatta yadulla –d dalîl alal ibâhah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya).
Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan muludan, tidak usah sibuk buka kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya! Jika ada orang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah sibuk buka kitab mencari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya! Ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena dalil sharîh, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
Itu tadi dua aspek sudah kita kemukakan. Dan aspek ketiga untuk lebih memahami hadis tentang bid'ah adalah historis Islam. Jika semua yang tidak dicontohkan Rasulullah disebut bid’ah, kita, generasi akhir zaman ini, tidak akan bisa mengenal Islam dari sumber terpercaya. Sumber Islam paling pokok adalah al-Qur’an dan Sunnah, baru kemudian ijtihad ulama melalui ijma’ dan qiyas.
Kita bisa mengenal al-Qur’an dan Hadis karena bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Al-Qur’an di zaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para penghafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatan al-Qur’an terberai di tangan para sahabat, ditulis di daun lontar, tulang, dan batu. Sesudah perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada Khalifah Abu Bakar, Sahabat Umar RA usul agar dihimpun mushaf untuk menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata: “Kaifa naf’alu sya’an lam yaf’alhu Rasulullah?”: “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Hadzâ wallâhi khairun”: “Demi Allah ini kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar, dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid ibn Tsabit memimpin tim penghimpunan al-Qur’an. 
Seandainya kita ikuti kelompok literalis, menganggap semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah, kita sekarang tidak bisa baca al-Qur’an! Di zaman Utsman, kodifikasi mushaf digalakkan besar-besaran, dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz. Mushaf telah dihimpun di zaman Abu Bakar, dicetak massif dan dibagikan di zaman Utsman. 
Orang selain Arab, seperti kita, tetap tidak bisa baca al-Qur’an tanpa bantuan bid’ah para ulama. Jangan bayangkan mushaf zaman dulu seperti sekarang. Dulu huruf Arab gundul, betul-betul gundul, tanpa titik dan harakat. Kita tidak bisa membedakan huruf Ta’, Ba’ dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad dan Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakkan titik ke dalam huruf Arab adalah Abu-l Aswad ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in. Seabad kemudian, Imam Kholil ibn Ahmad al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi dengan harakat sehingga kita mengenal harakat fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin, dst.
Tanpa "bantuan" bid’ah dua ulama ini, orang 'ajam (bukan Arab) seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an. Kita juga berhutang kepada Abu Ubaid Qosim ibn Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu tajwîd, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi, tanpa bid’ah Sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan membacanya dengan baik dan benar.
Sumber kedua Islam adalah hadis. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “La taktubû ‘annî wa man kataba ‘annî ghairal qur’ân fal yamhuhu
“Janganlah kalian tulis (apa-apa) dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hapuslah.” Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadis, bahkan melarangnya. (lihat Sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1930, Juz 18, hal. 129-30):
Jika kita ikuti cara baca kelompok muslim literalis, kita tidak bisa mengenal sumber Islam yang kedua. Kitab-kitab hadis yang terhimpun seperti al-Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kitab-kitab sunan (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah) adalah produk bid’ah karena tidak diajarkan Rasulullah, bahkan dilarangnya.
Karena itu, sungguh membingungkan jika ada jargon kelompok tekstualis yang menggemakan “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.” Al-Qur’an dikenali melalui mushaf. Mushaf adalah bid’ah yang tidak ada di zaman Rasulullah. Hadis dikenali melalui kitab-kitab hadis. Membukukan hadis adalah bid’ah yang tidak diperintahkan bahkan dilarang Rasulullah. Jadi, satu sisi mereka menentang bid’ah habis-habisan dan menyatakan semua bid’ah sesat. Sisi lain, mereka menyeru kembali kepada sumber Islam (al-Qur’an dan Hadis) yang hanya bisa dikenali berkat ‘bid’ah’ sahabat dan ulama.
Fakta-fakta di atas, tentunya mematahkan argumen pokok kelompok literalis yang memukul rata semua bid’ah. Makanya, para ulama telah mengajari kita untuk membuat pengelompokan bid'ah. Syaikh ‘Izzuddin ibn Abd Salam, sebagaimana dikutip Ibn Hajar al-Asqalani, membagi bid’ah ke dalam lima kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Bidah wajib seperti menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul fiqh, dst. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan tetapi tidak ada di zaman Rasulullah seperti teraweh berjama’ah, membangun sekolah dan pondok, serta forum-forum kajian. Bidah mubah seperti salaman selepas shalat dan makan-minum yang lezat, mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah perkara baru yang jelas menentang al-Qur’an dan Sunnah (Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts al-Araby, 1977, Juz 13, hal. 214).
Akhirnya, semoga Allah semakin membukakan pintu hati kita, membuka cakrawala pemikiran dan pengetahuan kita dalam beragama, serta menghilangkan syak atau keraguan dalam menjalankan ibadah dan muamalah hasanah. Wallahu A’lam…


Kamis, 01 Februari 2018

MUTIARA QOLBU

MUTIARA QOLBU
Oleh: Riki Sutiono (Dosen STAIN Bengkalis)



v  MUTIARA QOLBU 1: Agama Itu Nasihat
Mengawali tulisan ini ada baiknya kita simak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini: “Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, sesungguhnya Nabi bersabda, “Agama adalah nasihat”, Kami bertanya, Untuk siapa? Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan kaum Muslimin secara umum. “(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini masuk dalam kategori jawaami’ul kalim (perkatan yang singkat tapi padat maknanya) yang merupakan karakteristik Rasulullah dalam berbicara. Bagaimana tidak? Ia mengandung arti yang banyak dan faidah yang agung, sehingga mencakup seluruh sunah dan hukum syariat, yang pokok ataupun yang cabang. Maka, tidaklah aneh jika para ulama menyebutkan bahwa hadis ini merupakan poros ajaran Islam.
Nasihat adalah sebuah kata yang mengandung arti sangat komprehensif. Arti nasihat di sini adalah segala bentuk kebaikan yang diberikan demi kebaikan orang yang diberi nasihat. Kalimat “agama itu nasihat” mempunyai arti bahwa nasihat adalah sandaran dan pilar bagi agama. Sebagaimana sabda nabi, yang artinya: haji adalah arafah.” Maksudnya, wukuf di Arafah merupakan pilar dan bagian terbesar dari ibadah haji.
            Nasihat diartikan sebagai sebuah kata universal yang berarti memberikan keuntungan kepada orang yang diberi nasihat. Sebagian ulama ada yang mengumpamakan bahwa orang yang memberi nasihat kebaikan kepada orang yang dinasihati, bagaikan orang yang menutup cacat yang terdapat pada baju orang itu. Maka, menasihati orang lain sama halnya dengan menutup cela atau kekurangan yang terdapat pada dirinya.
            Bahkan, ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa yang menasihati saudaranya secara empat mata, maka itulah nasihat yang sebenarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang menasihati seseorang di depan khalayak ramai, maka itu adalah penghinaan.”Fudhail bin ‘Iyadh menuturkan, “Di antara ciri orang mukmin adalah menutupi aib saudaranya dan menasihatinya. Sedangkan di antara ciri orang durhaka adalah membuka aib seseorang dan menghinanya.” 
            Alangkah besarnya peran nasihat bagi agama ini. Doa kita semua, Semoga kita termasuk ke dalam umat yang terdepan, mulia, dan beruntung dengan saling menasihati kepada saudara-saudara kita kearah kebaikan tentunya sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang kita miliki. Wallahu ‘Alam ***

v  MUTIARA QOLBU 2: Menjadi Manusia Lebah
Di dalam al-Qur’an ada tiga binatang kecil diabadikan oleh Allah menjadi nama surah, yaitu al-Naml ( semut), al-‘Ankabut (laba-laba), dan al-Nahl (lebah). Ketiga binatang ini masing-masing memiliki karakter dan sifat, sebagaimana digambarkan oleh al-Qur’an. Dan hal itu patut dijadikan pelajaran oleh manusia.
Semut memiliki sifat suka menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa henti-hentinya. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun sedangkan usianya tidak lebih dari satu tahun. Kesombongannya sedemikian besar sehingga ia berusaha memikul sesuatu yang lebih besar dari badannya, meskipun sesuatu itu tidak berguna baginya.
Lain halnya dengan laba-laba, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an bahwa sarang laba-laba adalah tempat yang paling rapuh. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa di dalam masyarakat atau rumah tangga yang keadaannya seperti laba-laba adalah sangat rapuh kondisinya, anggotanya saling tindih-menindih, sikut menyikut seperti anak laba-laba yang baru lahir. Kehidupan ayah dan ibu serta anak-anak tidak harmonis, antara pimpinan dan bawahan saling curiga.
Berbeda dengan lebah. Lebah memiliki insting yang sangat tinggi, Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat, hal ini bertujuan agar tidak terjadi pemborosan dalam lokasi. Lebah mengolah makanannya sendiri, dan hasil olahannya bisa menjadi lilin dan madu yang sangat bermanfaat bagi manusia untuk dijadikan sebagai penerang dan obat. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja dan segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya.  Ia tidak mengganggu yang lainnya kecuali ada yang mengganggunya, bahkan kalaupun menyakiti (menyengat) sengatannya dapat menjadi obat. Oleh karenanya, wajarlah kalau Nabi Muhammad SAW mengibaratkan orang mukmin itu seperti lebah, sebagaimana dalam sabdanya: “Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti lebah. Ia tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang baik, dan bila berada pada suatu tempat tidak merusak”.
Dalam kehidupan kita di dunia ini, jelas ada manusia yang berbudaya semut, yaitu suka menghimpun dan menumpuk materi atau harta tanpa ada pemanfaatannya. Begitu juga entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada disekitar kita, yaitu mereka yang tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang mereka pikirkan adalah siapa yang mereka jadikan mangsa, siapa lagi yang akan ditipu, dan bagaimana cara mengambil hak orang lain.
Demikian pula di dalam masyarakat kita terdapat beberapa manusia-manusia lebah. Siapa manusia lebah itu? Manusia lebah adalah mereka yang tidak boros, tidak suka makan atau mengambil haknya orang lain, apa yang keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang menyakiti perasaan tetapi sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan. Dan bila berada pada suatu tempat atau daerah tidak menjadi pengacau dan penyebab kericuhan. Tetapi justru kehadirannya sangat diharapkan dan dirindukan. Oleh karenanya, marilah kita merenungkan dan mencontoh sifat-sifat yang dimiliki oleh lebah, sehingga kita dapat merasakan manisnya kehidupan di dunia ini. Wallahu A’lam***

v  MUTIARA QOLBU 3: Sudahkah Kita Menjadi Manusia Terbaik?
Mengawali tulisan ini, izinkan penulis menuliskan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Jabir:
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Sebagai makhluk sosial, manusia pastinya hidup saling berdampingan dengan orang lain. Baik itu dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Di dalam masyarakat tentunya kita selalu bersinggungan dengan orang lain. Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”
Hadist di atas memberikan arti bahwa Rasullullah sangat menganjurkan umat islam untuk selalu berbuat baik terhadap orang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfaatannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya.
Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita Memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Quran surah Al Isra’ ayat 7:
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)
Manfaat yang bisa kita berikan kepada orang lain itu bisa berupa; Pertama, Ilmu.  Baik ilmu agama maupun ilmu umum. Manusia bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan ilmu yang dimilikinya. Bahkan, seseorang yang memiliki ilmu agama kemudian diajarkannya kepada orang lain dan membawa kemanfaatan bagi orang tersebut dengan datangnya hidayah kepada-Nya, maka ini adalah merupakan keberuntungan yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Begitu pula ilmu umum, apabila diajarkan kepada orang lain dan dengan ilmu itu orang lain mendapatkan life skill (keterampilan hidup), lalu dengan life skill itu ia mendapatkan nafkah untuk sarana ibadah dan menafkahi keluarganya, ia bisa menyekolahkan anaknya, dan dengan sekolah tersebut anaknya bisa tumbuh menjadi orang sukses dan sholeh, maka ilmu itu akan menjadi pahala jariyah baginya.
Kedua, dengan harta atau kekayaan yang ia punya. Bentuknya bisa bermacam-macam. Secara umum mengeluarkan harta di jalan Allah itu disebut infaq. Infaq yang wajib adalah zakat. Dan yang sunnah biasa disebut shodaqah. Memberikan kemanfaatan harta juga bisa dengan pemberian hadiah kepada orang lain. Tentu, yang nilai kemanfaatannya lebih besar adalah yang pemberian kepada orang yang paling membutuhkan. Ketiga, Tenaga. Manusia bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan tenaga yang ia miliki. Misalnya jika ada perbaikan jalan kampung, kita bisa memberikan kemanfaatan dengan ikut bergotong royong. Ketika ada pembangunan masjid kita bisa membantu dengan tenaga kita.
 Keempat, Sikap yang baik kepada sesama juga termasuk kemanfaatan. Baik kemanfaatan itu terasa langsung ataupun tidak langsung. Maka Rasulullah SAW memasukkan “Senyum” kepada orang lain sebagai shadaqah karena mengandung unsur kemanfaatan. Dengan senyum dan sikap baik, kita telah mendukung terciptanya lingkungan yang baik dan kondusif.
Semakin banyak seseorang memberikan kelima hal di atas kepada orang lain, maka semakin tinggi tingkat kemanfaatannya bagi orang lain. Semakin tinggi kemanfaatan seseorang kepada orang lain, maka semakin tinggi posisinya untuk menuju “Manusia Terbaik”. Wallahu A’lam.***

v  MUTIARA QOLBU 4: Bisakah Hati Ini Selembut Rasulullah SAW?
(Sebuah kisah inspiratif)
            Ada banyak kisah teladan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada kita selaku umatnya untuk kita tiru dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kesempatan ini penulis tertarik untuk menyampaikan salah satu kisah teladan dari Baginda Rasulullah SAW tentang kelembutan hati Rasulullah SAW terhadap seorang pengemis buta. Berikut kisahnya:
Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.”
Teriakannya yang keras tak terlewatkan oleh seorang pun yang berjalan di dekatnya. Setiap kali ada yang terdengar langkah kaki orang melewatinya, pengemis buta itu selalu mengumpat Rasulullah Muhammad SAW, dan mengatakan Muhammad adalah tukang sihir, orang gila dan sebagainya.
Pengemis Yahudi buta itu hampir setiap hari di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang menyuapi pengemis yang hampir tidak pernah berhenti untuk menghina dan merendahkan Muhammad SAW. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.
Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya.
Orang lain yang menawarkan diri untuk menyuapi pengemis buta yang tidak berhenti merendahkan Muhammad SAW tersebut adalah sahabat terbaik Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq. Hati dan kepala Abu Bakar mendidih mendengar sumpah serapah pengemis Yahudi tersebut.
Namun Abu Bakar menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan kepada pengemis buta tersebut. Namun bukan rasa terima kasih yang di dapat oleh Abu Bakar, jusru penyangkalan dan hardikan keras dari pengemis tersebut.
Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” hardik si pengemis buta.
Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar.
Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar.
Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya. Air matanya tumpah tak tertahankan, dadanya turun naik, Beliau menangis sampai terisak-isak.
Salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad SAW itupun berkata, “Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.”
“Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.”
Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini  memberinya makan dan juga menyuapinya.
“Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar ini,” jawab Abu Bakar kepada pengemis buta itu.
Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput.
Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini.
“Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad ada di sampingku sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.” Kata pengemis buta dalam tangisnya.
Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW dibalas dengan kasih sayang oleh Nabi Akhir Zaman tersebut.
Demikianlah kisah keteladanan Rasulullah Muhammad SAW yang sebaiknya dicontoh oleh umat Beliau. Semoga kita termasuk orang yang mendapatkan syafa’at dari Nabi Muhammad SAW di Hari Penghakiman kelak.. Amiin.. Wallahu A’lam ***

v   MUTIARA QOLBU 5: Bercanda Dalam Islam
Seorang lelaki pernah datang kepada Imam Abu Hanifah rahimahullah, kemudian bertanya, "Bila saya sudah melepas baju dan hendak menyebur ke sungai untuk mandi, apakah saya harus menghadap kiblat?" Mendengar pertanyaan itu, Imam Abu Hanifah langsung menjawab, "Yang lebih afdhal hendaknya wajahmu menghadap ke arah bajumu supaya tidak di curi orang." Canda sang Imam langsung mengundang senyum orang-orang yang ada di sekitarnya.
Canda merupakan bumbu dalam kehidupan, secukupnya saja di taburkan sebagai penghias kehidupan. Islam sebagai agama yang paling sempurna tidak lepas dalam memberikan adab dalam bercanda. Diantara adab bercanda yang harus diperhatikan adalah:
Pertama, Tidak berbohong dalam bercanda. Rasulullah saw mengecam mereka yang membuat tertawa orang lain dengan membohonginya. "Celakalah bagi orang yang berbicara (bercerita) lalu berbohong untuk membuat orang-orang tertawa dengan cerita bohongnya itu. Celaka baginya! Celaka baginya! Celaka baginya!" (shahihul jaami').
Kedua, Tidak berlebih-lebihan dalam bercanda. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Hurairah ra "janganlah engkau banyak tertawa, karna sesungguhnya banyak tertawa itu mematikan hati." (shahihul jaami').
Ketiga, Tidak mempermainkan sesama muslim. Bercanda bila sudah kelewat batas menyebabkan seseorang mempunyai sifat iseng. Seakan akan tidak ada lagi perbuatan yang lebih baik daripada yang ia lakukan. Rasulullah saw berpesan, "Janganlah seseorang melakukan perbuatan yang dapat mendatangkan mudharat bagi dirinya dan orang lain". (Hadist syarif).
Keempat, Tidak mengolok-olok dan menghina orang lain serta tidak melakukan ghibah. Tergelincirnya lidah bisa disebabkan oleh canda yang tidak proporsional, sehingga meluas tidak terkendali. Dan bila setan sudah ikut andil di dalamnya maka mulailah saling olok dan hina diantara mereka untuk memancing tawa. Sebagaimana yang dikhawatirkan khalifah Umar bin Abdul Aziz, "Takutlah kalian pada canda, karena canda yang dungu dapat mewariskan rasa dengki."
Kelima, Tidak memperolok Al Quran dan sunnah Rasululllah saw. Dalam hal ini Allah swt berfirman dalam surat At Taubah : 65 yang artinya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka akan menjawab : Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok." Satu hal yang harus diperhatikan seorang muslim adalah Rasulullah saw memerintahkan agar meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw. "Sebagian dari tanda bagusnya kualitas keislaman seseorang adalah jika mampu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya." (HR Muslim).
Demikianlah kelima hal yang harus kita perhatikan ketika bercanda. Begitu sempurnanya Agama ini sampai pada bab bercanda juga ada aturannya. Tujuan dari aturan tersebut tiada lain adalah untuk kemaslahatan umat. Wallahu A’lam ***

v  MUTIARA QOLBU 6: Berhati-Hati Dengan “Syubhat”
Syubhat dapat diartikan sebagai sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunah, maknanya pun masih diperdebatkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara syubhat bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara jelas memposisikan perkara syubhat diantara yang halal dan yang haram. Hanya saja, sebagai langkah kehati-hatian, seharusnya kita menghindari barang syubhat. Hal ini dikarenakan syubhat dapat menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, kerena sesuatu yang belum jelas halal-haramnya.
Rasululullah adalah suri teladan dalam hal menjauhi perkara syubhat. Beliau adalah pemimpin orang-orang wara’. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diambil Rasulullah berkenaan dengan sebutir kurma yang jatuh ketika beliau mendapatinya di rumah beliau: “Kalau saja aku tidak khawatir bahwa ia (sebutir kurma ini) berasal dari barang sedekah, tentu sudah aku makan.”  (HR.Bukhari dan Muslim).
Abu Bakar juga sosok yang patut kita teladani dalam sikap wara’. Suatu ketika,beliau pernah memakan makanan syubhat karena tidak tahu. Maka ketika mengetahuinya, ia langsung memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan makanan itu. Lalu ia berkata, “seandainya untuk mengeluarkan makanan tersebut aku harus mengorbankan nyawaku, pasti akan aku tempuh.” Hal ini dikarenakan Abu Bakar pernah mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih pantas untuknya.”
Subhanallah, betapa besar semangat dan usaha Abu Bakar untuk menjaga perutnya agar tidak dimasuki barang syubhat. Jika Abu Bakar yang termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga saja selalu menjaga diri dari barang syubhat, maka kita semestinya memiliki tekad yang lebih besar dibandingkan beliau, untuk memelihara diri kita dari barang syubhat,apalagi haram. Lebih-lebih pada zaman sekarang ini kebanyakan orang menyepelekan masalah ini, bahkan sebagian mengatakan “mencari barang yang haram saja sulit, apalagi yang halal!”, Na’uzubillah… Asumsi seperti ini tidaklah benar, karena Allah telah berjanji dalam Al-Quran bahwa siapa saja yang bertakwa kepada-Nya, Dia akan memberikan jalan keluar pada setiap persolan yang membelitnya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Untuk itu, mari kita membersihkan hati kita. Mengapa? Bila hati seseorang bersih, tentu ia dapat menjauhi syubhat. Sebaliknya, bila hati seseorang kotor, ia akan selalu cenderung menjalankan perkara syubhat dengan seribu satu alasan yang digunakan. Wallahu A’lam ***

v  MUTIARA QOLBU 7: Memandang Perbedaan Pendapat dikalangan Kaum Muslimin
Mengawali tulisan ini, penulis ingin memaparkan sebuah kisah yang dikutip dari Fiqhu 's-Sirrah karya DR. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy. Di mana ketika Nabi Saw dan para sahabat kembali dari Perang Khandaq, Malaikat Jibril datang menemuinya dan menyampaikan perintah Allah SWT agar beliau dan pasukannya menuju perkampungan Bani Quraidhah. Beliau pun berangkat ke sana.
Sebelum keberangkatan, Nabi Saw memerintahkan para sahabat untuk tidak melaksanakan Shalat Ashar sebelum sampai di perkampungan tersebut. “Laa yushallianna ahadun al-'ashra illa fi bani quraidhah". (Janganlah ada seorang pun melakukan Shalat Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah).
Di tengah perjalanan, tibalah waktu Shalat Ashar. Para sahabat berbeda pendapat atas perintah Nabi Saw tersebut. Sebagian dari mereka "mengabaikan” perintah tersebut dengan melakukan Shalat Ashar.  Menurut mereka, "Sesungguhnya beliau menghendaki kita mempercepat perjalanan, dan bukannya mengundurkan waktu shalat". Sebagian yang lain tetap berpegang pada nash (teks) yang terucap oleh Nabi (memahaminya secara harfiyah). Mereka tidak melakukan shalat. "Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana," kata mereka. Terjadinya perbedaan pendapat tersebut kemudian dilaporkan pada Nabi. Ternyata, beliau mendiamkan hal itu, tidak mengecam ataupun menegur salah seorang pun diantara mereka.
Kisah di atas menunjukkan pada kita, perbedaan pendapat (khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam, tidak saja terjadi pada masa sepeninggal Nabi atau masa kini. Bahkan, pada ketika Nabi masih hadir di tengah-tengah umat pun terjadi perbedaan Pendapat dikalangan umat islam. Perbedaan pendapat itu ditolerir oleh Nabi Saw (Sunnah Taqririyah).
Menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, sikap diam Nabi Saw dalam kisah di atas menunjukkan pada kita, bahwa suatu perbuatan jika disempurnakan atas dasar ijtihad, tidaklah layak untuk dikafirkan atau dianggap dosa. Mengutip pendapat Ibnu Qayim, Qardhawi menyatakan, kelompok pertama (yang melakukan shalat) atau berpegang pada kandungan ucapan Nabi, adalah para pendahulu ahli qias serta mementingkan arti (maksud). Sedangkan kelompok kedua (yang tidak shalat) atau memahami secara tekstual ucapan Nabi adalah pendahulu ahli zhahir (bepegang pada susunan kalimat secara harfiyah).
Bila kita tinjau umat Islam sekarang, secara garis besar umat Islam terbagi menjadi dua kelompok dalam memahami nash Quran ataupun hadits, utamanya yang berkenaan dengan masalah furu' (cabang). Perbedaan pendapat (khilafiyah) bukan hal yang harus diributkan, apalagi sampai meretakkan ukhuwah Islamiyah karena suatu kelompok merasa paling benar dan menyalahkan yang lain. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar. Kita, yang tidak sanggup berijtihad sendiri, boleh saja untuk ittiba', yakni mengikuti atau memilih pendapat mana saja sesuai keyakinan dan pemahaman kita sendiri, disertai pengetahuan dan pemahaman akan landasan/argumen masing-masing pendapat. Taklid buta atau asal pilih, ikut-ikutan, tanpa mengetahui dan memahami alasannya, dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
"Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak tahu apa-apa tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan rasa, masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya"(Q.S. 17:36). 
Perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tak terhindarkan. Al-Qardhawi menyatakan, perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat manusia. Menurutnya, perbedaan pendapat dalam perkara furu' merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan hal itu tidaklah menimbulkan kerugian dan bahaya, selama berlandaskan ijtihad syar'i yang benar. Hal itu justru merupakan rahmat bagi umat, menunjukkan fleksibilitas (keluwesan) dalam syariat, dan keluasan dalam ilmu dan pengetahuan.
Para sahabat Nabi dan para tabi'in pun, lanjut Qardhawi, sering berselisih pendapat dalam berbagai hukum furu'. Tetapi hal itu tidak sedikit pun merugikan mereka, dan tidak pula meretakkan persaudaraan dan persatuan mereka. Qardhawi mengingatkan, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengakibatkan, antara lain, timbulnya berbagai aliran dan madzhab. Dalam bidang akidah atau teologi timbul aliran-aliran: Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah. 
Dalam fiqih atau hukum Islam muncul madzhab-madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Dalam bidang politik muncul aliran-aliran: Sunni, Syi'ah, dan Khawarij. Dalam tasawuf tampil aliran-aliran: Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
Dalam praktek keagamaan, tampil ragam bentuk atau tata cara beribadah. Juga ragam sikap dan pandangan terhadap berbagai masalah. Semuanya sama-sama mengklaim benar, karena berdasarkan Quran dan Sunnah. Wajar, ada ungkapan "Islam itu satu, tetapi Muslim banyak". Asalkan tidak mengklaim sebagai pihak yang paling benar dan yang lain salah. Klaim kebenaran hanya milik Allah Swt.
Sekali lagi, kita yang awam tidak perlu heran dan bingung akan realitas tersebut. Perbedaan pendapat, seperti contoh kisah di atas, adalah wajar dan ditolerir. Menurut hadits, jika suatu pendapat hasil ijtihad itu benar, maka pahalanya dua. Jika pendapatnya salah, pahalanya cuma satu, yakni pahala untuk amal ijtihadnya. Jadi, sama-sama mendapat pahala alias tidak dipandang dosa. Untuk ber-ittiba' tinggal pilih pendapat mana yang hendak diikuti dengan penuh kesadaran, pengetahuan, sikap kritis, dan pemahaman yang cukup. Artinya, dalam memilih, kita pun harus memiliki alasan dan pemahaman, karena di akhirat nanti yang akan mempertanggungjawabkannya adalah kita sendiri. 
Dalam menyikapi perbedaan pendapat, adalah seyogianya diperhatikan sikap toleran atau menghargai pendapat orang lain, lapang dada (tasamuh), serta tidak merasa paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Karena kebenaran sepenuhnya hanyalah milik Allah SWT. Dia lah yang paling berhak menentukan mana yang benar dan salah. Terlebih, sikap merasa paling benar dan menyalahkan yang lain, dapat meretakkan jalinan ukhuwah Islamiyah dan persatuan kaum Muslimin.
Perbedaan pendapat adalah realitas tak terelakkan dan bukan untuk menyebabkan perpecahan umat Islam. Dan kita pun tak mungkin dapat menghapuskan perbedaan pendapat itu. Upaya-upaya untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu', jika pun ada, akan sia-sia. Karena, seperti dikatakan Muhammad Al-Buthy, upaya demikian bertentangan dengan Hikmah Rabbaniyah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syari'at-Nya. 
Saat ini kita menyaksikan perselisihan pendapat begitu mencuat di antara para ulama, tokoh Islam, dan umat Islam pada umumnya. Idealnya, para ulama, tokoh Islam, dan umat Islam pada umumnya, selalu mendasarkan pendapat dan argumen pilihan pada nash Al-Quran dan Sunnah Nabi, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok yang sifatnya duniawi atau material. Jika kepentingan ekonomi ataupun kepentingan politik yang lebih dominan melatarbelakangi pendapat, maka tunggulah kenistaan dan kehancuran. Jika syariat Islam dikalahkan oleh ambisi dan kepentingan duniawi, maka tunggulah kekacauan dan azab Allah Swt. Jika agama hanya digunakan sebagai alat meraih dukungan atau kepentingan politik, maka kita terjerumus ke jurang kemunafikan dan mengundang murka-Nya. 
Akhirnya, Marilah kita sadari, Jika kita sama-sama mencita-citakan ridho Allah, pasti kita akan bersatu, hanya mendukung satu imam, seperti sering kita tunjukkan ketika sholat berjamaah. Maka, shawwuu shufuufakum! Rapatkan dan luruskan barisan kalian!  Satu hal lagi, jika kita tidak menyikapi perbedaan pendapat dengan benar, misalnya kita merasa paling benar lalu menyatakan orang lain salah tanpa dasar argumentasi/dalil Quran dan Sunnah, maka bisa-bisa kita terjerumus ke jurang syirik. Selain itu, saling menyalahkan hanya akan menimbulkan dosa lain, yakni rusaknya ukhuwah Islamiyah. Wallahu a'lam.
v  MUTIARA QOLBU 8: Hakikat Kesuksesan Dan Kemuliaan
Hari ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain. Bahwa orang hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana, orang sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Orang besar adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan, serta seabrek indikator-indikator ‘palsu’ dimunculkan untuk merusak pemahaman manusia tentang makna kesuksesan dan kemuliaan. Supaya manusia tertipu dan lupa pada hakikat ketinggian dan kemuliaan yang sebenarnya, yakni ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah. “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Mahateliti”. (QS al-Hujurat: 13)
Akibatnya, banyak orang yang akhirnya beramal hanya demi mencari ridho dan kerelaan manusia, tanpa peduli lagi pada pahala dan balasan dari Allah. Asal pekerjaan itu disenangi dan dikagumi serta mulia di mata manusia, syariat Allah rela dijadikan tumbal. Akhirnya, muncullah golongan manusia yang beramal supaya dilihat dan dipuji oleh orang lain, atau beramal karena riya’. Mereka berebut agar bisa menjadi objek pujian dan perhatian manusia dalam setiap amal yang mereka kerjakan. Karena mereka menganggapnya sebagai upaya ‘mengejar kesuksesan’.
Tanpa disadari, sebenarnya mereka sedang mengejar kesia-siaan. Mereka lupa, bahwa hidup bukan hanya sekedar untuk mencari pujian dan kebanggaan palsu. Dan lupa, bahwa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah, Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya. Lalu, bagaimana mereka yang beramal dengan menjilat manusia?
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mencari keridhaan Allah meskipun ia memperoleh kebencian dari manusia, maka Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkanya kepada manusia.” (HR Tirmidzi).
Imam Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Maksudnya, Allah akan menjadikannya berada dibawah kuasa manusia, lalu mereka menyakiti dan menganiayanya.”
Melihat penjelasan di atas, dapatlah kiranya diambil sebuah kesimpulan bahwa hakikat kesuksesan dan kemuliaan itu bukan terletak pada tingginya jabatan, kekayaan, popularitas yang tinggi, namun hakikat kesuksesan dan kemuliaan itu adalah mencapai derajat Ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah SWT semata, mencari keridhoan dan kerelaan Allah SWT, bukan keridhaan manusia. Karena sebaik-baik tempat bergantung itu adalah hanya kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Wallahu A’lam ****

v  MUTIARA QOLBU 9: Mulutmu Harimaumu
Demikian bunyi peribahasa yang melukiskan bagaimana pengaruh dari perkataan yang keluar dari mulut kita. Dari mulut akan keluar fitnah, adu domba, serta provokator, yang bisa berlanjut jadi adu jotos.
Rasulullah SAW berpesan kepada kaum muslimin agar memelihara mulut. Tidak memperbanyak pembicaraan, kecuali yang jelas mengandung maslahat. Manakala berbicara dan diam sama dalam mendatangkan kemaslahatan, maka berdiam diri lebih baik. Sebab berbicara kadang-kadang menyeret kepada hal-hal terlarang atau kepada yang tidak disenangi. Nabi bersabda : "Seseorang mengucapkan perkataan yang tidak jelas baginya, dia akan tergelincir akibat ucapannya itu ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara Timur dan Barat." (HR. Bukhari-Muslim).
Mulut sekalipun anggota badan yang paling kecil, namun bahaya yang ditimbulkan lebih besar dan dahsyat. Kejelekkannya jauh lebih cepat menjalarnya manakala tidak dikendalikan dengan dzikir dan ketaqwaan. Betapa banyak orang yang berkedudukan tinggi seperti DPR, MPR, Pejabat Pemerintah jatuh terperosok akibat ucapan/pernyataannya. Sebab pernyataannya menimbulkan fitnah dan permusuhan di antara manusia.
Apa-apa yang keluar dari mulut akan mewarnai kehidupan. Apabila yang keluar baik, maka akan membawa dampak yang baik, namun jika yang keluar tidak baik, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan. Oleh sebab itu, keselamatan kehidupan adalah bersumber dari mulut/lisan.
Perkataan yang baik adalah ucapan yang berisi ajakan ke jalan Allah dan mengandung nasehat untuk menjadi orang yang bertakwa kepada-Nya, sabar terhadap ujian-Nya dan istiqomah dalam berjuang menegakkan syariat-Nya, serta gemar beramal shaleh.
Sedangkan perkataan yang keji dan kotor adalah perkataan yang suka mencela dan mengutuk, sebab perkataan ini akan menabur dendam, kebencian dan permusuhan.
Sayyidina Ali RA berpesan : "Sungguh aku tak menyukai kalian menjadi kaum pengumpat dan pencaci maki. Tetapi sekiranya kalian menyatakan tentang perbuatan-perbuatan mereka menurut apa adanya dan menyebutkan keadaan mereka sebenarnya, tentunya yang demikian itu lebih tepat untuk dibicarakan dan lebih lebih mengena sebagai kecaman. Sebagai ganti cercaan sebaiknya kalian berkata : "Ya Allah, hentikanlah penumpahan darah kami dan darah mereka. Perbaikilah hubungan antara kami dan mereka! Tunjukkilah mereka jalan keluar dari kesesatan mereka, sehingga kebenaran muncul dalam diri orang-orang yang tadinya tidak mengenalnya; kesesatan dan pelanggaran dihentikan oleh siapa saja yang tadinya amat gemar menjalaninya.""
Lidah itu laksana seekor binatang buas, bila dilepaskan pasti membunuh. Siapa saja yang banyak bicaranya, pasti banyak pula kesalahannya. Siapa saja banyak menggunakan pikirannya, kebenaran akan tampak nyata baginya. Oleh sebab itu hati-hatilah dalam berbicara. Wallahu A’lam…..

v  MUTIARA QOLBU 10: Mana Yang Lebih Prioritas: Hablumminallah Atau Hablumminannaas?
Islam mengajarkan keseimbangan. Artinya, meski kita hidup di dunia hanya sementara, dan kehidupan di dunia hanyalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang kekal, akan tetapi Islam sama sekali tidak menafikan kebutuhan duniawi kita. Oleh karena itu, dalam Islam dikenal istilah Hablumminallah dan Hablumminannaas, yaitu hubungan vertikal antara manusia dengan Allah sang Pencipta, dan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya.
            Pada dasarnya, Hablumminallah maupun Hablumminannaas bukanlah hal yang terpisah, justru keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi dan menjelaskan. Maksudnya adalah ketika hubungan kita dengan Allah sedang baik, intens, dekat, hal itu pasti akan berefek pada hablumminannas kita. Tiba-tiba saja ada orang yang membantu kita menyelesaikan permasalahan yang pelik, hubungan kita dengan keluarga semakin lebih baik, hubungan dengan teman-teman jadi tambah asyik, pokoknya banyak terjadi hal yang seolah magic. 
Begitu pula sebaliknya, ketika Hablumminallah kita buruk, biasanya akan mempengaruhi hubungan kita dengan sesama manusia, entah itu orangtua kita, sahabat, teman sekelas, teman sekerja, tetangga, bahkan hubungan dengan orang yang tidak kita kenal pun bisa ikut-ikutan buruk! Tiba-tiba saja ada yang mencuri HP kita, atau aib yang selama ini kita tutup-tutupi terbongkar, bahkan hal yang seharusnya tidak jadi masalah malah jadi masalah besar, pokoknya hari-hari terasa susah dan tambah gerah. Hal ini memberikan arti bahwa Hablumminallah mempengaruhi Hablumminannaas.
Demikian juga, hubungan kita dengan sesama manusia dapat menjelaskan keadaan hubungan kita dengan Allah.Artinya, ketika kita merasa hubungan dengan keluarga lagi jelek, hubungan dengan rekan sekerja atau teman sekelas juga begitu, tiap kita bicara selalu ada yang keliru, rasanya seluruh dunia menjadi musuh. Bisa jadi... hal tersebut merupakan alarm peringatan bahwa Hablumminallah kita sedang dalam kondisi yang harus segera diperbaiki!
Berkaitan dengan ini menurut hemat penulis, Kita tetap harus memprioritaskan hablumminallah sebelum hablumminannaas. Karena kita bisa melihat dari seruan al-Quran yang selalu mengedepankan "Dirikan shalat!" baru kemudian "Tunaikan zakat!" bukan sebaliknya.Artinya, seberapa pun sibuknya aktivitas sosialmu, jikalau waktu shalat sudah tiba, kedepankanlah shalat.
Namun jangan terjebak menjadikan shalat sebagai aktivitas ritual belaka, yang dilaksanakan karena wajib, bukan karena kesadaran penuh. Kualitas shalat kita ini bisa teruji dari kualitas hubungan sosial kita dengan sesama manusia, seperti yang telah kita bahas di atas. Bahkan, kita mestinya mempelajari shalat lebih dalam dan lebih maknawi dengan membaca buku-buku yang mengupas khusus tentang shalat. Jangan puas sekedar menghapal bacaan dan tata cara shalat, karena perkara shalat bukan masalah sepele. Wallahu A’lam ***






Biografi Penulis: Riki Sutiono, M.Pd.I lahir di Bengkalis, Riau 04 Januari 1990. Pendidikan Formal jenjang S1 diselesaikan pada tahun 2012 dengan mengambil Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Pendidikan Formal S2 diselesaikan pada tahun 2015  mengambil Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di Pasca Sarjana UIN Suska Riau. Pengalaman Kerja diantaranya sebagai Tenaga Pengajar di SDIT Bintang Cendekia Pekanbaru Riau, Dosen STAI Al Azhar Pekanbaru Riau dan saat ini penulis terdaftar sebagai dosen tetap di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) STAIN Bengkalis. Penulis bisa dihubungi di nomor WA 085278207141 atau email: sutionoriki@gmail.com.

            

JURNAL RIKI SUTIONO

  “PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM’S ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) TERHADAP HASIL BELAJAR FIQIH SISWA KELAS VII MTS MASMUR ...